Ekonomi, Analisis

Belajar soal memajaki transaksi e-commerce dari tetangga

Bank Indonesia sudah mengeluarkan peraturan tentang National Payment Gateway, namun tak seperti beberapa negara lain, realisasinya belum jelas

Muhammad Latief  | 19.10.2017 - Update : 09.11.2017
Belajar soal memajaki transaksi e-commerce dari tetangga

Jakarta

Muhammad Latief

JAKARTA

Pertumbuhan teknologi yang serba cepat lagi-lagi membuat pembuat peraturan di Indonesia tertatih-tatih mengejar ketinggalan. Salah satu yang sekarang sedang ramai dibicarakan adalah cara memajaki transaksi e-commerce.

Dengan meningkatnya transaksi online, baik yang terjadi di e-commerce besar maupun toko daring perorangan lewat aplikasi bertukar pesan, potensi penerimaan pajak untuk negara seharusnya juga membesar.

Namun semua ini tak berarti jika hingga kini pemerintah masih belum merumuskan peraturan dan implementasinya.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak sudah pernah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 62 Tahun 2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi e-commerce. Edaran ini menegaskan bahwa tidak ada pajak baru dalam transaksi e-commerce.  

Konsekuensinya, tidak ada perbedaan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan antara transaksi e-commerce ataupun konvensional.

Penjual dan pembeli dikenakan pajak sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan yang sudah ada.

Namun, dunia e-commerce terus berkembang, bukan lagi hanya soal jual-beli barang saja yang menggunakan teknologi informasi. Kini ada pula pelayanan pelanggan online dan pertukaran dokumen bisnis.

Dirjen Pajak kemudian memperbarui pengertian e-commerce dan memetakannya menjadi empat model transaksi, Yaitu online marketplace (tempat memajang barang dan jasa), classified ads (memajang iklan), daily deals (pembayaran dengan voucher), dan online retail (penjualan langsung).

Empat model transaksi ini memuat pembayaran imbalan atau penghasilan karena jual-beli barang atau jasa, sehingga menjadi objek pajak Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Ekonom senior Aviliani mengatakan, PPh dan PPN masih tepat dikenakan pada transaksi e-commerce. Karena, kata dia, menurut regulasi pajak segala sesuatu yang merupakan penerimaan harus dikenakan pajak.

Artinya, orang yang menghasilkan keuntungan dari transaksi online, dalam hal ini penjual, harus membayar pajak PPh.

Kemudian, PPN dikenakan pada aktivitas orang atau badan hukum yang menjual barang. Di e-commerce, PPN dikenakan pada pembeli atau perusahaan toko online berbadan hukum. 

Kunci utama supaya pengenaan PPh dan PPN tepat sasaran adalah adanya data transaksi keuangan yang jelas, baik dari perorangan maupun perusahaan.

Mengumpulkan data-data transaksi ini tidak mudah. Pasalnya, hampir 70 persen aktivitas perdagangan online dilakukan perorangan melalui media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp.

“Masalahnya, bagaimana mengidentifikasi objek pajak pada ibu-ibu penjual online?” kata Avi.

Masalah lain bermunculan seiring dengan ekspansi e-commerce itu sendiri. Indonesia kini menghadapi transaksi e-commerce yang sifatnya borderless, yakni melintasi batas negara. Sehingga, tak jelas negara mana yang berhak memajaki.

Hambatan lain timbul karena bentuk barang atau jasa dalam transaksi tak selalu fisik. Dokumen, misalnya, bisa saja diperjual-belikan dalam bentuk digital. Kemudian, transaksi e-commerce juga berjalan sangat cepat.

Jadi, “Memang tidak gampang mendata tranksasi e-commerce yang bisa menjadi objek pajak,” ujar peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus.

Transaksi online yang paling sulit didapatkan datanya adalah yang dilakukan melalui media sosial seperti Facebook atau WhatsApp. (Megiza Asmail - Anadolu Agency)

Belajar dari negara-negara lain

Jika Indonesia baru kini ribut-ribut soal pajak transaksi e-commerce, negara-negara lain sudah terlebih dulu merumuskan pemungutan pajak dari jual-beli daring.

Jepang, misalnya, sudah memraktikkannya sejak 2002 lalu. Bahkan, pajak transaksi elektronik ini menjadi salah satu penerimaan terbesar negara.

Negeri Matahari Terbit ini membentuk Professional Team for e-Commerce Taxation (Protect), sebuah unit khusus pada National Tax Agency (NTA) dengan tugas mendeteksi transaksi e-commerce.

“Unitnya terintegrasi di otoritas perpajakan” ujar Firdaus.

Protect, unit pemburu pajak ini, dibentuk karena sulitnya mengidentifikasi pelaku e-commerce di Jepang. Pelaku industri ini di Jepang sangat banyak, jumlahnya juga fluktuatif, karena mudahnya mulai dan berhenti menjadi pedagang online.  

Selain itu, perdagangan juga lintas batas negara dan semua transaksi terjadi secara online atau tidak kasat mata sehingga memerlukan keahlian di bidang teknologi informasi untuk membuka atau mendapatkan data tersebut.

Sasarannya bukan hanya perusahaan-perusahaan besar di Jepang, tapi juga ibu-ibu rumah tangga yang mempunyai bisnis jualan online.

Dengan tarif pajak 8 persen tiap transaksi, Protect menghimpun lebih 35 persen penerimaan pajak Jepang secara keseluruhan. Pada 2015, kurang lebih perkiraan penerimaan pajak sebesar Rp5.000 triliun.

“Ini salah satu pengelolaan pajak e-commerce yang layak dicontoh,” ujar dia.

Selain Jepang, negara-negara Asia lain juga sudah mulai menerapkan skema perpajakan e-commerce yang cukup baik. Di antaranya Singapura, Korea Selatan, China, India, Malaysia, dan belakangan Thailand.

Namun, bedanya, negara-negara tersebut sudah menerapkan sistem National Payment Gateway (NPG), sehingga pemungutan pajaknya bisa efektif dan efisien.

“Kuncinya ada di situ, payment gateway yang memudahkan penarikan [pajak],” ujar Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo.

Setidaknya, Indonesia bisa belajar dari negara tetangga Singapura soal bentuk NPG ini. Negeri Singa memiliki NETS sebagai lembaga domestic switching, yang dengan turunannya (eNETS) bisa merekam semua transaksi online yang terjadi di dalam negeri.

Pungutan PPN e-commerce menjadi mudah dengan NPG karena semua bank yang melayani transaksi online maupun jasa pembayaran lain terhubung dengan lembaga switching NPG.

eNETS, misalnya, adalah lembaga switching NPG untuk transaksi berbagai kartu kredit (Visa, MasterCard, JCB, atau American Express) yang menggunakan mata uang lokal dolar Singapura. Dia juga merupakan lembaga switching untuk internet banking semua bank konvensional di Singapura.

Bank Indonesia (BI) saat ini sedang mengusahakan sistem serupa. Agustus lalu, BI menerbitkan Peraturan BI Nomor 19 Tahun 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway), yang dipersiapkan sebagai blue print realisasi NPG tahun depan.

Di Indonesia sendiri, saat ini ada 3 operator pembayaran yang sudah dikenal luas. Mereka adalah Artajasa yang mengelola ATM Bersama, Rintis Sejahtera yang mengelola Prima, dan Daya Network Lestari yang mengelola ALTO.

Bisa jadi, BI akan menunjuk salah satu operator ini yang akan bertindak sebagai pengelola tunggal NPG. Bisa pula, BI menerapkan peraturan implementasi yang benar-benar berbeda model dari Singapura.

Apapun kebijakan BI nanti, Prastowo mengingatkan bahwa e-commerce adalah sektor yang baru tumbuh di Indonesia.

“Maka pemerintah harus hati-hati agar tidak mematikan para pelaku,” kata Prastowo.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın