Analisis

Manuver UEA yang membuat Timur Tengah kacau-balau

Dengan visi sekulernya yang kuat untuk Timur Tengah, Uni Emirat Arab merancang strategi kebijakan luar negeri yang independen dari Arab Saudi

Samuel Ramani  | 24.01.2018 - Update : 25.01.2018
Manuver UEA yang membuat Timur Tengah kacau-balau

Istanbul

Samuel Ramani

Penulis adalah kandidat Doktor of Philosophy jurusan International Relations di St. Anthony’s College, Universitas Oxford. Dia juga seorang jurnalis yang secara rutin menulis untuk The Washington Post dan The Diplomat.

OXFORD

Pada 26 Juli 2017, Duta Besar Uni Emirat Arab (UEA) untuk Amerika Serikat Yousef al-Otaiba mengumumkan jika kemenangan sekulerisme di dunia Arab adalah fondasi perdamaian jangka panjang di Timur Tengah. Pengumuman ini semakin membedakan UEA dari Qatar, yang dikucilkan dari Dewan Kerja sama Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC) karena tuduhan kedekatan negara tersebut dengan gerakan Islamis, dan memperkuat hubungan UEA dengan negara-negara anti-Islamis di Arab, seperti Mesir dan Bahrain.

Selama enam bulan belakangan, komitmen UEA mendukung kekuatan sekuler di Timur Tengah telah menjadi inti dari agenda kebijakan luar negeri mereka. Dengan usaha untuk mengisolasi Qatar dari sistem regional, menerjunkan operasi militer di Yaman, dan meminta Arab Saudi untuk meninggalkan sekutu-sekutu Islamisnya, UEA mengembangkan strategi bertujuan ganda yang bertujuan untuk mengurangi pengaruh jaringan Islam Sunni dan kelompok-kelompok Islam Syiah yang didukung oleh Iran. Strategi ini juga ingin menjadikan perubahan bagi UEA - dari “sekadar” sekutu pendukung Arab Saudi menjadi kekuatan regional dengan aspirasi geopolitik yang independen.

Usaha UEA untuk melemahkan pengaruh Qatar di berbagai urusan Timur Tengah merupakan hal penting dalam strategi UEA, karena Pangeran Mohammed bin Zayed yang berkuasa di Abu Dhabi menganggap hubungan Qatar dengan kelompok-kelompok Islamis dan hubungan diplomatiknya yang kuat dengan Iran mengancam stabilitas regional. Untuk memaksa Qatar menahan aktivitasnya, UEA berusaha keras menerapkan blokade kepada Qatar dan berusaha membuat perekonomian Qatar tak stabil dengan menyebarkan informasi negatif yang mengurangi kepercayaan investor internasional terhadap ekonomi Qatar.

Dengan keputusan Qatar untuk memutuskan hubungan militer dengan Ikhwanul Muslimin cabang Yaman, al-Islah, sebagai perkecualian, diplomasi keras ala UEA ternyata tak terlalu efektif. Dalam beberapa bulan terakhir, Qatar malah memperkuat hubungan dagang dengan Iran, menahan tekanan AS untuk menutup kantor Taliban di Doha, dan terus menyediakan dukungan kepada lembaga-lembaga yang disokong Hamas di Jalur Gaza.

Untuk melawan perkembangan negatif ini, UEA memanfaatkan jaringan yang mereka miliki di AS untuk melobi pemerintahan Trump supaya melabeli faksi Ikhwanul Muslimin yang didukung Qatar sebagai organisasi teroris, dan semakin menekan Qatar untuk menangguhkan hubungannya dengan Taliban. Meski Qatar dengan sukses melawan aksi blokade dan tetap menjalin hubungan dekat dengan Washington, pemerintahan UEA percaya kalau tekanan diplomatik akan menghilangkan ancaman yang berasal dari Doha untuk mencapai misi UEA menciptakan sistem regional di Timur Tengah yang dipimpin oleh rezim sekuler otoriter.

UEA memandang Yaman sebagai satu lagi pengancam serius visi kebijakan luar negerinya, karena UEA beranggapan bahwa konflik di Yaman adalah pertarungan antara tiga poros supremasi, yakni kekuatan sekuler, militan Sunni dan pemberontak Houthi yang dibekingi Iran. Persepsi UEA akan konflik Yaman ini berbeda dengan persepsi Arab Saudi yang memandang perang di Yaman adalah pertarungan geopolitik antara GCC dengan Iran. Kontras antara pandangan Saudi dan Emirat soal Yaman membuat Abu Dhabi melakukan misi militer dan diplomasi sepihak yang bertujuan untuk memperkuat kekuatan sekuler melawan musuh-musuh Islamis mereka.

UEA diketahui memberikan dukungan militer untuk mantan Presiden Ali Abdullah Saleh sebelum kematiannya pada Desember 2017, karena Abu Dhabi memandang sejarah kepemimpinan Saleh yang secara pragmatis mampu menyeimbangkan kepentingan berbagai kekuatan sektarian sebagai pengalaman berharga yang berguna untuk rekonstruksi politik Yaman di masa depan. Sejak kematian Saleh, UEA juga telah berusaha untuk menyatukan Yaman dengan koalisi nasionalis-sekuler yang dipimpin oleh Presiden Abdrabbuh Mansur Hadi.

Untuk menambah pengaruh Abu Dhabi dalam kondisi perang di Yaman dan memfasilitasi kembalinya pemerintahan sekuler di Yaman, UEA harus menggunakan kekuatan militer untuk membuat kantong-kantong pengaruh di Yaman. Ikatan kuat UEA dengan gerakan nasionalis di Yaman Utara dan kehadiran UEA yang mulai kuat di wilayah Hadhramaut yang kaya minyak menjanjikan kekuatan independen di Yaman, saat Arab Saudi melakukan serangan udara secara dominan di perbatasan utara Yaman.

Strategi UEA di darat bisa memberi sokongan logistik untuk kekuatan sekuler-nasionalis di Yaman dan melakukan serangan kepada gerilyawan al-Islah dan Houthi dengan lebih presisi ketimbang serangan udara yang dilakukan oleh Riyadh.

Selain meluncurkan serangan militer, UEA menggunakan kekuatan diplomasi untuk meyakinkan pihak Islamis Yaman untuk menerima penyelesaian secara politik. Pada 13 Desember, Mohammed bin Zayed bertemu dengan Ketua al-Islah Mohammed Abdullah Al-Yidoumi untuk meyakinkan Ikhwanul Muslimin Yaman untuk menunda aktivitas mereka dan bekerja sama dengan UEA melawan ancaman Houthi.

UEA juga menggunakan diplomasi rahasia untuk memecah belah kelompok Houthi dari dalam. Inisiatif diplomasi rahasia ini mengeruk kesuksesan besar pada 8 Januari, ketika Sheikh Hamir Ebrahim, seorang komandan pasukan Houthi terkemuka di Provinsi Hodeidah yang terletak di selatan Yaman, mendesak pasukannya untuk membelot ke koalisi GCC. Karena dukungan publik terhadap Houthi terus berkurang, UEA berharap pembelotan serupa akan terus terjadi, yang kemudian memperkuat koalisi otoriter sekulernya.

Meskipun upaya sepihak yang dilakukan UEA untuk mengisolasi Qatar dan melemahkan faksi-faksi Islam di Yaman merupakan bagian integral strategi mereka, namun UAE dengan cermat menggabungkan aksi sepihaknya ini dengan koordinasi bilateral dengan Arab Saudi. UEA menganggap keinginan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman untuk menciptakan negara Saudi yang “Islam moderat” sebagai langkah positif, dan para pejabat Emirat pun berusaha meyakinkan sejawatnya di Saudi untuk melebarkan retorika sekulerisme ini hingga ke ranah kebijakan luar negeri mereka.

Usaha UEA untuk menyekulerkan kebijakan luar negeri Arab Saudi dan melancarkan strateginya sendiri melalui kerja sama bilateral ternyata membuahkan kesuksesan. Saat UEA mengutuk Qatar karena relasinya dengan Hamas, Arab Saudi mendukung keras. Dukungan ini kemudian mendorong Riyadh dan Arab Saudi untuk menjalin kerja sama menginisiasi perjanjian rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah pada Oktober 2017. Meskipun aliansi militer Arab Saudi dengan al-Islah terus membikin pembuat kebijakan di UEA frustrasi, Mohammed bin Salman turut serta dalam pertemuan yang digelar oleh Mohammed bin Zayed dengan pemimpin senior al-Islah pada 13 Desember untuk mengembalikan stabilitas politik di Yaman.

Walaupun orientasi kebijakan luar negeri UEA tak sekterian seperti Arab Saudi, Abu Dhabi dan Riyadh bersepakat soal menentang kegiatan-kegiatan agresif Iran di Timur Tengah. Beberapa bulan terakhir, aliansi Arab Saudi-UEA memusatkan perhatian kepada ancaman keamanan yang berasal dari program misil balistik Iran, dan menekan pemerintahan Trump untuk mengakui pelanggaran yang dibuat Iran atas perjanjian nuklir 2015.

Terlepas dari kerja sama yang semakin erat ini, UEA lebih bersedia untuk terlibat secara diplomatis dengan faksi Syiah moderat ketimbang Arab Saudi. UEA juga tetap menentang kebijakan Riyadh yang secara sembarangan mempersenjatai militan Sunni melawan pasukan pro-Iran. Meskipun demikian, UEA dan Arab Saudi memiliki cukup persamaan untuk diterapkan dalam kerangka strategi yang diinginkan UEA.

Sejak pecahnya krisis Qatar pada Juni 2017, UEA melakukan inisiatif sepihak untuk mengendalikan pengaruh proksi militer Iran dan kelompok-kelompok Islam di Timur Tengah. Dengan visi sekuler untuk sistem regional Timur Tengah, UEA telah mengembangkan strategi kebijakan luar negeri yang independen dari Arab Saudi dan secara substansial meningkatkan pengaruhnya dalam urusan regional. Seiring dengan terus berlangsungnya perang di Yaman dan ketegangan antara UEA, Qatar, dan Iran yang terus berlangsung akut, agenda pro-sekuler al-Otaiba kemungkinan akan terus dikedepankan UEA sebagai strategi regional di masa yang akan datang.



*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Anadolu Agency Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın