Dunia, Analisis

Membaca pikiran monster bernama Daesh: Di balik taktik militer mereka

Kelompok teror yang terdiri dari berbagai personel ini membangun strategi untuk menjauhkan Barat dari Suriah, Irak

07.12.2017 - Update : 08.12.2017
Membaca pikiran monster bernama Daesh: Di balik taktik militer mereka

PARIS

Daesh telah memorak-porandakan situasi keamanan Timur Tengah selama lebih dari satu dekade.

Kebrutalan mereka jauh melampaui batas-batas regional, bahkan menjarahi kota-kota besar milik Barat. Jaringan teroris ini melandaskan ideologi pada garis sekterian yang salah, menjalani konsep kekerasan yang merusak, diramu dengan pendekatan militer yang canggih.

Kombinasi berbahaya ini menuntun kita pada rentetan teror, beberapa menunjukkan bahwa Daesh sekalipun tak mengacuhkan penggunaan bahan kimia.

Organisasi teroris ini merupakan buah pemikiran tak masuk akal, dibentuk dan diisi oleh sisa-sisa aparat keamanan Irak Baath, milisi teroris asing, suku-suku pribumi, penerus jaringan teroris Zarqawi, dan beberapa persekutuan lain yang murni pragmatis.

Keragaman para anggotanya ini menjadikan berbagai kecakapan bersatu dan menghasilkan strategi militer yang sangat merusak, bila tak bisa dibilang terlalu inovatif.

Maka, mencoba memahami Daesh secara menyeluruh, termasuk membaca strategi perang mereka, akan mencegah kelompok ini berkembang menjadi gelombang kelompok teroris global yang “ter-al Qaeda-isasi”.

Salah satu aspek terpenting dalam strategi militer Daesh adalah cara-cara kejam mereka dalam berperang, termasuk gaya eksekusi brutal yang kerap mereka rekam dan bagikan melalui internet dan sosial media.

Tak diragukan lagi, kebrutalan para teroris Daesh menyisakan pengalaman mengerikan tak hanya untuk Timur Tengah namun untuk seluruh umat manusia.

Meski, dari kacamata perencana militer, tindakan yang “mengiklankan pembantaian” ini adalah bagian dari perang politik dan strategi operasi psikologis.

Dalam ilmu pendoktrinan, mengelola persepsi musuh sangat penting dalam membangun pencegahan yang efektif. Inti dari operasi psikologis ini adalah menggunakan informasi dan propaganda untuk membentuk perilaku target.

Hasil akhir dari operasi psikologis ini adalah untuk mendapatkan pola perilaku yang menguntungkan diri mereka. Pola yang bertujuan untuk menurunkan keinginan musuh untuk memerangi mereka.

Jelas, Daesh terang-terangan ingin digambarkan sebagai kelompok yang kejam, haus darah, dan tak kenal ampun sehingga tak ada yang mau berurusan dengan mereka.

Kekerasan terang-terangan 

Jaringan kelompok ini menancapkan otoritas mereka kepada masyarakat lokal dengan cara meneror dan membiasakan mereka menyaksikan kekerasan berdarah dingin. Video pemenggalan kepala para tahanan yang dibagikan secara online menjadikan mereka semacam kultus terorisme yang gelap, dan menarik orang-orang tertentu dengan efektif.

Perang politis dan strategi operasi psikologis ini agaknya terbayar, melihat enggannya negara-negara Barat mengirimkan pasukan ke Suriah dan Irak kecuali lewat kerja sama militer dan misi-misi khusus.

Bahkan, Turki adalah satu-satunya negara anggota NATO yang mengirim pasukan dalam jumlah besar di area kekuasaan Daesh, untuk memberantas kelompok ini dengan agresi militer.

Namun strategi operasi psikologis dan perang politis Daesh juga selalu erat kaitannya dengan pengaruh yang mereka tebarkan di dunia maya.

Jejaring teroris ini memakai internet sebagai alat untuk mempromosikan propaganda dan menarik rekrutan-rekrutan baru. Video-video Daesh dengan mudah bisa ditemukan secara online, kebanyakan dibuat dengan teknik-teknik cakap, nyaris seperti buatan profesional.

Terlebih, materi multi-media ini mendapatkan perhatian besar dari pengguna platform seperti Facebook dan Twitter. Dengan kata lain, Daesh memiliki pemahaman yang cukup komprehensif soal teknologi informasi dan revolusi komunikasi di abad ke-21 ini.

Dari kacamata militer, Daesh sepertinya menunjukkan penampilan garang dan mematikan di level taktikal, meski mereka menderita beberapa kemunduran dalam mempertahankan wilayah mereka yang diserang.

Menariknya, meski ketika mereka kalah jumlah dan dalam posisi lemah, Daesh hanya punya satu taktik bertahan, yakni melakukan serangan habis-habisan sampai pada titik seperti terobsesi.

Beberapa usaha menyerang ini tak terencana dan tereksekusi dengan baik, sehingga malah menimbulkan kerugian yang tinggi untuk mereka.

Lebih jauh lagi, beberapa ahli menyatakan, karena jaringan teroris ini berisi personel dari beragam kelompok - dari ekstrimis Salafi dan mantan anggota keamanan Irak Baath, hingga penduduk lokal sampai teroris asing - yang membuahkan perbedaan-perbedaan besar dan tak pelak menimbulkan perpecahan antara level strategis dan taktis di dalam tubuh organisasi.

Alhasil, Daesh kehilangan seperempat dari seluruh wilayah kekuasaan mereka di kurun waktu awal 2015 sampai akhir 2016.

Pertahanan brutal

Meski begitu, Daesh sepertinya bertekad membuat kehilangan wilayah ini sama merugikannya buat para penyerang. Para perencana perang Daesh membuat - terkadang dengan cara tak masuk akal - sistem pertahanan yang ofensif.

Mereka memilih untuk menjaga keganasan wilayah bertahan mereka dengan beberapa kejutan taktis. Seperti memodifikasi kendaraan yang dilengkapi dengan alat ledak (vehicle-borne improvised explosive device/SVBIED), sarang-sarang penembak jitu yang tersembunyi, rumah-rumah yang dipasangi jebakan, bahkan perang dengan bahan kimia.

Singkatnya, dunia tak hanya menyaksikan kekalahan teritorial Daesh, tapi juga melihat langsung batas kebrutalannya. Inilah yang kemudian menjadi warisan gelap dan menjadi “modal” untuk kemungkinan transformasi de-teritorial – atau proses “al Qaeda-isasi” dari Daesh.

Daesh, sebagai tambahan, menggunakan roket untuk menyerang musuh dalam berbagai perang dengan militer. Mereka banyak menggunakan varian 122-mm BM-21 Grad, atau roket yang di era Perang Dunia II lebih dikenal dengan nama Katyusha.

Kunci penggunaan roket bagi organisasi teroris adalah mobilitas dan kemampuan manuver peluncurnya.

Daesh menggunakan platform 4x4 dan 6x6 untuk meluncurkan Katyusha, yang efektif dalam jarak 20 kilometer.

Tepat setelah meluncurkan rudal, militan Daesh akan cepat-cepat memindahkan posisi platform untuk menghindari serangan balik. Turki, khususnya kota Killis di perbatasan selatan negara ini, adalah korban paling apes dari serangan roket Daesh.

Untuk itu, tujuan utama dan keuntungan terbesar Operasi Euphrates Shield adalah untuk menutup posisi strategis peluncur roket Daesh di sepanjang daerah perbatasan Turki, termasuk memblokir jalur produksi roket di kota al-Bab di Suriah.

Daesh juga sering sekali menggunakan pesawat nirawak untuk mengampanyekan tindakan teror mereka.

Mereka menerbangkan drone untuk berbagai misi, mulai dari misi pengintaian hingga serangan mendadak.

Misi dengan drone paling sensasional dilakukan Daesh menggunakan DJI Phantom FC40 Quadcopter yang dijual secara bebas untuk mengintai basis militer Pasukan Suriah-Arab di Raqqah pada 2014. Atau yang terbaru, kala Daesh menerbangkan drone yang membawa amunisi 40mm untuk mengganggu operasi militer koalisi yang dipimpin AS di timur Suriah.

Organisasi teror ini juga menerbangkan sejumlah drone di Irak. Oktober 2016 lalu, Daesh menerbangkan drone yang membawa bahan peledak di Mosul, menewaskan dua pejuang Peshmerga dan melukai dua personil pasukan khusus Prancis.

Daesh yang mendunia?

Yang paling mengkhawatirkan dari serangan tersebut adalah fakta bahwa drone yang membawa bahan peledak tersebut tak langsung meledak saat menabrak para pejuang Peshmarga, juga tak meledak saat drone tersebut ditangkap mereka.

Pesawat nirawak adalah sebuah perangkap dipasangi dengan pre-set timer, sehingga baru meledak setelah para Peshmarga membawa drone tersebut ke markas mereka, yang pada saat itu sedang dipakai juga oleh pasukan kerja sama tim militer dari Prancis.

Insiden ini menunjukkan betapa sudah majunya perencanaan taktis dan kemampuan eksekusi Daesh.

Penggunaan SVBIED juga salah satu kemajuan Daesh yang terpenting. Mereka memodifikasi truk lapis baja dan kendaraan-kendaraan personal lain menjadi senjata teror yang hanya bisa dihentikan oleh misil udara atau rudal anti-tank.

SVBIED adalah salah satu penyebab utama kematian pasukan bersenjata Turki dalam Operasi Euphrates Shield.

Daesh baru-baru ini mengalami kemunduran besar dalam usaha mereka mendirikan negara karena dihancurkan oleh serangan udara yang besar, sementara mereka tidak memiliki pertahanan udara apapun, kecuali beberapa senjata MANPADS dan senjata anti-pesawat, yang hanya berfungsi baik di altitud rendah.

Namun, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kecuali Turki, tidak ada pasukan militer Barat yang bisa membawa kekuatan darat dalam jumlah besar untuk melawan organisasi teroris tersebut.

Pada akhirnya, penilaian atas Daesh berakhir dengan pertanyaan penting: Apakah monster ini akan kembali lagi dengan bentuk yang lebih berbahaya setelah kehilangan wilayah kekuasaan mereka?

Jawabannya tentu tergantung pada banyak faktor, seperti tingkat kembalinya para pejuang asing, kemampuan sel-sel teroris untuk membentuk aliansi teritorial di berbagai penjuru dunia, dan sejauh mana kepemimpinan organisasi ini bisa beregenerasi.

Namun satu hal yang pasti: Daesh memiliki struktur yang kompleks, yang terbukti membuat mereka mampu membentuk strategi militer yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Perencanaan strategis seperti inilah yang ditakutkan bisa menjadi amunisi baru terorisme global. 

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Anadolu Agency

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın