Nasional

DPR akan panggil pemerintah soal impor beras

Komisi VI belum mengetahui secara resmi terkait rencana impor beras

İqbal Musyaffa  | 17.01.2018 - Update : 18.01.2018
DPR akan panggil pemerintah soal impor beras Ilustrasi: Aktivitas Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, 27 Agustus 2017. (Megiza Asmail-Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Iqbal Musyaffa

JAKARTA

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan akan memanggil pemerintah untuk meminta keterangan terkait rencana impor beras sebanyak 500 ribu ton.

Anggota Komisi VI DPR RI dari PDI Perjuangan Rieke Dyah Pitaloka mengatakan Komisi VI belum mengetahui secara resmi terkait rencana tersebut.

“Itulah yang membuat kita akan memanggil Menteri Perdagangan, Bulog, serta pihak yang terkait impor tersebut,” ujar Rieke, Rabu.

Menurut dia, PDI Perjuangan selaku partai yang mengusung Presiden Joko Widodo sendiri belum mendapatkan informasi tersebut.

“Pada ulang tahun PDI P tanggal 10 kemarin Presiden [Joko Widodo] tidak menyampaikan apa-apa terkait impor,” ungkap dia.

Oleh karena itu, ia merasa heran adanya rencana impor beras oleh pemerintah, padahal dalam waktu dekat petani akan mempersiapkan panen raya di bulan Februari hingga April. Diperkirakan panen raya padi terjadi pada luas area tanam 1,628 juta ha dengan potensi produksi 8,55 ton gabah kering giling.

Rieke juga melihat ada yang janggal di balik rencana impor karena pada November lalu Menteri Pertanian sudah menyatakan stok beras aman hingga Mei.

“Bulog juga sudah menyampaikan ada surplus 1,7 juta ton dan cukup hingga April,” ujar Rieke.

Presiden, menurut dia, sudah meminta Bulog melakukan penyerapan 4,5 juta ton beras nasional. Hanya saja, lanjut dia, penyerapan Bulog tidak maksimal.

Rieke memaparkan penyerapan beras nasional oleh Bulog pada tahun 2017 hanya 2,16 juta ton, sedikit lebih banyak dari penyerapan tahun sebelumnya sebanyak 2,96 juta ton.

“Padahal Bulog tahun 2017 sudah mendapatkan penyertaan modal negara sebesar Rp2,3 triliun,” imbuh dia.

Dia berharap pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, dapat duduk bersama dan berhenti silang pendapat terkait data stok dan kebutuhan beras yang ada di masyarakat.

“Pemerintah harus memiliki satu data tunggal sehingga tidak menimbulkan kegaduhan karena tidak baik secara politis terhadap Presiden,” tambah dia.

Sebaiknya, menurut Rieke, pemerintah fokus melakukan perbaikan pada Bulog karena masih terdapat banyak kasus penyelewengan beras seperti pengoplosan, pengadaan beras fiktif, serta penyelewengan stok opnam beras yang dilakukan Bulog di daerah.

Dampak dari transisi kebijakan

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI Saidah Sakwan mengatakan polemik beras yang terjadi saat ini merupakan dampak dari transisi kebijakan yang dilakukan pemerintah.

Transisi kebijakan pertama, menurut dia, adalah penetapan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp9.300 untuk beras medium dan Rp12.300 untuk beras premium.

“Begitu kebijakan ini ditetapkan maka membuat margin pengusaha tergerus, sehingga banyak yang keluar dari industri beras nasional,” jelas dia.

Kedua, kebijakan pemerintah mengalihkan subsidi beras sejahtera (rastra) menjadi bantuan tunai juga menjadi salah satu penyebab masalah pada beras.

Bila dahulu dengan rastra pemerintah dapat mencukupi kebutuhan beras 15 juta rumah tangga, kata dia, saat ini berbeda.

“Rumah tangga penerima manfaat kini harus pergi ke pasar untuk membeli beras, baik medium ataupun premium. Rastra awalnya bisa menjadi instrumen stabilisasi beras nasional,” urai Saidah.

Dia berharap apabila impor beras tetap dilakukan, beras hasil impor tidak dilepas ke pasar melainkan dapat dijadikan stok untuk Bulog karena pada Februari mendatang akan ada panen raya.

Apabila dilepas ke pasar, ia khawatir beras petani lokal tidak akan terserap. Kendala klasik petani menurut dia masih terjadi seperti tidak adanya pengering gabah di petani sehingga harga gabah petani akan anjlok karena basah.

“Pengadaan pengering gabah harus menjadi fokus pemerintah,” tegas dia.

Pemerintah, menurut dia, juga harus dapat melakukan manajemen transisi kebijakan dengan baik sehingga tidak ada ruang bagi spekulan untuk mengeksploitasi kondisi ini untuk mencari keuntungan sepihak.

Ongkos logistik yang mahal

Saidah mengungkapkan berdasarkan pengamatan KPPU, kebutuhan beras nasional hanya disokong beberapa provinsi saja seperti Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan NTB.

Kemudian, beras produksi nasional tersebut sekitar 67 persen digunakan untuk memasok kebutuhan beras di pasar induk Cipinang karena tidak tersedianya sentra beras di daerah.

“Setelah dari Cipinang, maka terjadi tur beras atau beras dibawa ke daerah lain yang membutuhkan seperti Kalimantan sehingga menimbulkan biaya logistik yang mahal,” ungkap Saidah.

Dia juga mendesak agar pemerintah dapat menjaga keseimbangan harga beras di tingkat produsen dan konsumen agar masalah terkait harga, kebutuhan, dan pasokan beras tidak terjadi setiap tahun.


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın