Analisis

Ladang gas: Alasan kuat untuk membuat Israel-Lebanon berperang?

Pertikaian soal kepemilikan ladang gas mungkin tak bakal menyulut perang baru bagi Israel, namun semakin meningkatnya eksistensi Iran dan milisinya di perbatasan selatan Suriah dengan Israel bukan pertanda baik buat Lebanon

Dandy Koswaraputra  | 28.02.2018 - Update : 01.03.2018
Ladang gas: Alasan kuat untuk membuat Israel-Lebanon berperang?

Lebanon

Makram Rabah

Penulis adalah dosen sejarah di American University di Beirut. Dia juga penulis 'A Campus at War: Student Politics at the American University of Beirut, 1967-1975'

LEBANON

Robert Frost, penyair kenamaan Amerika, mengakhiri puisinya “Mending Walls” dengan larik, “pagar yang baik membuat tetangga yang baik”. Meskipun hal ini mungkin terjadi, baik untuk Lebanon maupun Israel, tampaknya tidak ada pagar atau demarkasi perbatasan yang dapat mencegah kedua negara ini terlibat konflik yang berulang.

Pada masa lalu, Israel berulang kali menyerang Lebanon karena ketidakmampuan negara itu mencegah kelompok-kelompok non-negara, seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dan kemudian Hizbullah, untuk meluncurkan serangan ke wilayah-wilayah negara Yahudi itu. Tindakan terakhir Israel tersebut terjadi pada bulan Juli 2006, ketika Angkatan Darat Israel melancarkan serangan 33 hari terhadap Lebanon dan Hizbullah. Kedamaian yang telah terjalin di perbatasan antara kedua negara itu selama lebih dari 12 tahun ini berisiko rusak lagi, namun kali ini konfrontasi beralih ke teritorial perairan.

Baru-baru ini, setelah proses yang alot dan tidak terlalu transparan, pemerintah Lebanon mengeluarkan lisensi ke konsorsium minyak dan gas (Total SA, Eni International BV, dan JSC Novatek) untuk memulai eksplorasi dan produksi di blok 4 dan 9, blok yang terakhir disebut sebagiannya diperdebatkan oleh Israel, yang mengklaim bahwa 860 km2 dari 1.742 km2 adalah miliknya. Alih-alih membawa persoalan sengketa ini ke arbitrase internasional, Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman mengambil sikap menentang, seraya mengatakan langkah Lebanon tersebut sebagai “tindakan yang sangat menantang dan provokatif”.

Bagi banyak orang, kata-kata Lieberman ini bisa menjadi pembuka jalan untuk sebuah konfrontasi militer habis-habisan yang akan melibatkan Hizbullah yang didukung Iran. Namun, terlepas dari potensi skenario apokaliptik seperti yang diekspresikan Lieberman itu, sebagian besar tanda-tanda dan keadaan saat ini justru mengindikasikan hal sebaliknya. Israel pasti memiliki keuntungan secara militer dalam perselisihan ini, tetapi sengketa mengenai ladang gas ini tidak cukup alasan bagi negara itu untuk memobilisasi pasukannya dan mengganggu perdamaian yang telah telah tercapai sejak lama di perbatasan utara Lebanon.

Krisis Suriah dengan kehadiran pasukan pro-Iran di negara pimpinan Presiden Bashar al-Assad itu, yang beroperasi di bawah arahan dan dukungan dari Garda Revolusi Iran (IRG), adalah ancaman nyata bagi Israel – yang sampai sekarang memaksa tentara Israel menggunakan serangan udara. Namun, jika ancaman Iran yang nyata terhadap Israel dan pertahanan udara Suriah seperti itu pernah menjatuhkan jet tempur F-16 Israel tidak cukup untuk menyulut perang di Suriah, apakah ladang gas cukup menjadi alasan untuk berperang?

Keberadaan kapal-kapal Iran di Lebanon dan wilayah sekitarnya mengindikasikan perang gas akan segera terjadi. Sekretaris Jenderal Hizbullah Sayyid Hassan Nasrallah memastikan bahwa partainya dan cadangan rudal yang mereka miliki akan menyusutkan rencana Israel untuk mencuri sumber daya alam Lebanon yang sangat berharga. Pernyataan Nasrallah dimaksudkan untuk memanfaatkan peran partainya sebagai pelindung Lebanon melawan agresi Israel di kawasan dan untuk mengalihkan perhatian lebih jauh dari kenyataan bahwa pasukannya terlibat penuh dalam mempertahankan Rezim Assad, dan dengan demikian Hisbullah telah menempatkan perang mereka dengan Israel sebagai bukan prioritas.

Yang lebih penting lagi, tidak lama setelah sengketa gas antara Israel dan Lebanon ini muncul, Amerika Serikat kemudian melakukan manuver diplomatik dengan cepat untuk menurunkan tensi kegaduhan di kawasan. Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, yang telah mengumumkan niatnya untuk mengunjungi Lebanon, mengirim asistennya untuk Urusan Timur Tengah David Satterfield ke Lebanon dan Israel. Satterfield menyampaikan pesan yang jelas bahwa perselisihan maritim semacam itu tidak perlu berkembang menjadi konflik terbuka.

Pada saat yang sama, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan kabinetnya tidak memiliki kesempatan untuk mengancam dengan menggunakan kekuatan militer. Karena realitas politik yang saat ini sedang terjadi di Israel tidak memungkinkan ancaman semacam itu menjadi kenyataan. Seperti diketahui, Netanyahu sedang diselidiki oleh polisi, dan aparat hukum telah merekomendasikan kepada Jaksa Agung Israel untuk mengajukan tuntutan kepada kepala partai Likud itu atas penyuapan, kecurangan, dan korupsi. Akibatnya, jika skenario itu terbukti benar, maka Netanyahu harus turun sebagai perdana menteri, dan negara harus melakukan pemilihan parlemen awal di mana tidak ada politisi Israel yang bisa mengumumkan perang.

Meski isu sengketa ladang gas tidak akan membawa Israel ke dalam perang berikutnya, kehadiran Iran dan milisinya yang terus meningkat di perbatasan selatan Suriah dengan Israel bisa menjadi pertanda tidak baik bagi Lebanon. Sementara itu, Hizbullah lebih suka menggunakan Suriah sebagai medan pertempuran dan menghindari pertikaian di Lebanon – yang akan menimpa daerah konstituen Syiahnya. Jika perang terjadi, justru pada akhirnya akan membahayakan sumber daya alam yang baru ditemukan Lebanon dan juga rakyatnya.

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Anadolu Agency

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.