Dunia, Nasional

Belum ratifikasi konvensi 1951, Indonesia tetap bantu pengungsi

Pakar hukum menyebutkan jika Indonesia negara seksi bagi pengungsi

Hayati Nupus  | 26.04.2018 - Update : 26.04.2018
Belum ratifikasi konvensi 1951, Indonesia tetap bantu pengungsi Tampilan dalam Rumah Penahanan Imigrasi yang kelebihan kapasitas di Jakarta Barat, Indonesia pada 19 Desember 2017. Rumah yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Indonesia saat ini menampung 445 orang dari berbagai negara, dengan mayoritas berasal dari Nigeria. Diantara orang-orang; 215 karena masalah imigrasi, 115 pencari suaka, dan 75 lainnya adalah pengungsi. (Erric Permana - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Hayati Nupus

JAKARTA

Meski belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 tentang pengungsi, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk membantu pengungsi yang membutuhkan pertolongan.

Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib mengatakan saat ini pengungsi di Indonesia berasal dari Suriah, Irak, Afghanistan, Somalia, Myanmar dan Srilanka.

“Indonesia berkomitmen menerima pengungsi, tidak berdasarkan suku, ras, maupun agama,” tegas Achsanul dalam seminar internasional Menyelesaikan Masalah Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia dan Asia Tenggara, Kamis, di Jakarta.

Persoalannya, kata Achsanul, Indonesia memiliki dua dilema terkait penanganan pengungsi, yaitu mengenai kebijakan dan keterbatasan dana.

Sebagai negara transit, ujar Achsanul, pemerintah perlu menyiapkan kebutuhan sehari-hari bagi para pengungsi seperti fasilitas pendidikan dan makanan. Pemerintah juga khawatir para pengungsi akan betah dan memilih untuk menetap di Indonesia.

Pakar hukum Universitas Indonesia Heru Susetyo mengatakan Indonesia merupakan negara seksi bagi para pengungsi dan pencari suaka.

Meski hanya menjadi tempat transit, ungkap Heru, Indonesia memiliki banyak pulau dan lautan luas dengan keamanan rendah, sehingga mudah diterabas.

“Ini peluang untuk mereka bisa masuk,” kata Heru.

Indonesia, ujar Heru, tak hanya belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 tentang pengungsi. Negara ini juga belum memiliki perangkat hukum yang kuat sekelas undang-undang untuk menangani pengungsi.

Perangkat hukum yang ada, sebatas Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.

“Belum lengkap, tapi ini lebih baik, karena tak ada satu pun negara di Asia tenggara yang memiliki aturan memadai untuk menangani pengungsi,” ujar Heru.

Persoalannya, kata Heru, seperti yang dipaparkan Achsanul, pemerintah Indonesia tak memiliki anggaran untuk pengungsi. Pemerintah daerah pun tak cukup memiliki kesadaran, sehingga melempar isu ini ke pemerintah pusat. Selama ini penanganan pengungsi di Indonesia dilakukan oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat.

Kepala Perwakilan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) di Indonesia Thomas Vargas mengapresiasi Indonesia yang telah memiliki hukum nasional untuk menangani pengungsi.

UNHCR, kata Thomas, mendorong agar negara lain di Asia Tenggara turut menciptakan perangkat hukum serupa, sekaligus menandatangani Konvensi Internasional 1951 tentang pengungsi.

“Ini penting, agar mereka bisa turut membantu menyelesaikan persoalan pengungsi,” ujar Thomas.

Persoalan keterbatasan anggaran, seperti yang terjadi juga di Bangladesh, kata Thomas, UNHCR dan lembaga lain tengah berupaya mencari bantuan untuk mendanai penanganan pengungsi.

Thomas juga mendorong agar negara mengizinkan pengungsi untuk mandiri, misalnya menggunakan keahlian dan talenta mereka untuk mengurusi komunitasnya di pengungsian. Ini sekaligus membantu mereka untuk memetakan solusi yang terbaik dari persoalan ini.

“Kita tidak bisa membiarkan mereka terlalu tergantung,” kata Thomas.

Menurut Direktorat Jenderal Keimigrasian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, terdapat 14.364 pengungsi dan pencari suaka di Indonesia pada 2017. Sebanyak 1.958 di antaranya tinggal di Rumah Detensi Imigrasi, 2.062 di ruang tahanan kantor Imigrasi dan 32 orang di Direktorat Jenderal Imigrasi. Tak hanya itu, terdapat 4.478 pengungsi tinggal di rumah komunitas dan 5.382 sebagai pengungsi independen.

Berdasarkan catatan UNHCR, hingga 31 Desember 2016 terdapat 7.154 pengungsi dari Afghanistan (46,7 persen), 1.446 pengungsi asal Somalia (10 persen), 954 pengungsi asal Myanmar (6,6 persen), 946 pengungsi Irak (6,5 persen), 725 pengungsi Nigeria (5 persen), 540 pengungsi Srilanka (3,7 persen) dan 2.640 pengungsi lainnya dari berbagai negara.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın