Nasional

LSM: Kasus penyiksaan sering terjadi di Asia

Negara-negara di Asia memiliki komitmen untuk menghapus penyiksaan, namun implementasinya lemah

Hayati Nupus  | 24.04.2018 - Update : 25.04.2018
LSM: Kasus penyiksaan sering terjadi di Asia

Jakarta Raya

Hayati Nupus

JAKARTA

Aliansi Antipenyiksaan Se-Asia menyimpulkan kasus penyiksaan masih sering terjadi di Asia.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani mengatakan beberapa negara yang situasinya masih represif seperti Bangladesh atau Thailand Selatan, juga Myanmar, konflik dan potensi kekerasan masih jauh lebih tinggi.

“Mayoritas pelakunya adalah militer, polisi, dan organisasi masyarakat yang memiliki afiliasi dengan kelompok politik,” ungkap Yati, Selasa, dalam diskusi peluncuran Aliansi Antipenyiksaan Se-Asia, di Jakarta.

Sedang di negara post-otoritarian seperti Indonesia, Nepal dan Srilanka, ujar Yati, penyiksaan dilakukan secara individual, bukan atas nama negara.

Kumpulan 20 organisasi masyarakat pro-demokrasi ini mencatat, aksi penyiksaan itu tak lepas dari kultur dan budaya di Asia yang permisif pada tindak penyiksaan. Penyiksaan itu terjadi atas nama kepentingan keamanan, agama, atau perlawanan terhadap terorisme.

Polisi, Yati memisalkan, kerap menyiksa tersangka dengan memukul atau bahkan menyetrum agar memperoleh jawaban sesuai.

Tinggi komitmen, lemah implementasi

Sebetulnya, kata Yati, umumnya negara-negara di Asia sudah menandatangani Konvensi Menentang Penyiksaan, kecuali Malaysia. Sedang India sudah menandatangani meski belum meratifikasi.

Sejumlah negara seperti Indonesia, Filipina, Kamboja, Bangladesh dan Nepal bahkan telah memiliki aturan hukum domestik yang menjamin tindak kekerasan tidak akan lagi terjadi.

“Namun realitasnya terdapat gap besar, ada komitmen hukum pemerintahan Asia tapi implementasi masih lemah,” ujar Yati.

Persoalannya, ungkap Yati, sistem peradilan di Asia masih lemah, sehingga rentan terjadi penyiksaan. Beberapa sumber persoalan di antaranya adalah penegak hukum tidak profesional, kegagalan hakim memahami konsepsi hukum menentang penyiksaan, dan korupsi lembaga peradilan.

Selain itu, kata Yati, negara-negara di Asia juga lemah melindungi korban penyiksaan. Beberapa negara seperti Indonesia memiliki LPSK, namun hanya bersifat merekomendasikan. Penentu nasib tetap saja di tangan pengadilan.

Senior Legal Officer Open Society Justice Inisiative (OSJI) Masya mengatakan tindakan penyiksaan tidak bisa ditolerir, apapun kondisinya.

“Ini kejahatan serius, hak fundamental,” ujar Masya.

Standar hukum internasional menyebutkan bahwa semua elemen masyarakat bertanggung jawab atas terjadinya penyiksaan, termasuk polisi, jaksa dan hakim. Namun tetap saja fakta itu terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.

Hukum internasional tak hanya menentang penyiksaan tapi sekaligus mengatur bagaimana membatasi tindak penyiksaan yang dilakukan militer, aparat keamanan, polisi dan bagaimana menghindari tindak pidana penyiksaan.

Juga terdapat inisiatif global yang diinisiasi pelapor khusus PBB Anti Penyiksaan mengenai wawancara investigasi yang tidak menyiksa, tapi mencari kebenaran dari tindak kejahatan.

“Inisiatif tersebut menyebutkan bahwa penyiksaan ilegal, imoral dan juga tidak efektif,” kata dia.

Menurunnya kualitas kebebasan

Pegiat hak asasi manusia Haris Azhar mengatakan praktik penyiksaan terjadi seiring menurunnya kualitas kebebasan di suatu wilayah. Penurunan kualitas kebebasan di antaranya terjadi di Filipina, Burma dan India.

Di Filipina, perang terhadap narkoba mengakibatkan maraknya praktik brutalitas. Begitu juga di Myanmar. “Transisi untuk menjamin kebebasan gagal, maka banyak praktik kekerasan,” kata dia.

Di Indonesia, ratifikasi konvensi menentang penyiksaan diteken setelah peristiwa Mei 1998, di mana terjadi kekerasan rasial, pembakaran hidup-hidup dan lebih dari 70 perempuan diperkosa.

“Jadi hukum ini diadopsi menggunakan darah dan nyawa, dengan komitmen ingin mengakhiri kekerasan. Reformasi bukan agenda politik semata tapi agenda pengembalian HAM,” kata Haris.

Sayangnya, kata Haris, setelah rezim berganti kekerasan dan penyiksaan terus terjadi di Indonesia.

“Mereka gagal memaknai ratifikasi, selain sebagai sebuah pertumbuhan hukum semata,” kata dia.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın