Budaya

Rohingya di Makassar: Kami bukan prioritas UNHCR Indonesia

Bertahun-tahun tinggal di Indonesia, nasib kaum Rohingya masih terkatung-katung

07.08.2017 - Update : 08.08.2017
Rohingya di Makassar: Kami bukan prioritas UNHCR Indonesia Memiliki kartu identitas dari UNHCR adalah langkah awal untuk bisa dipindahkan ke negara ketiga. (Megiza Asmail - Anadolu Agency)

Regional

Megiza Asmail

MAKASSAR

Cerita pilu pengungsi Rohingya yang terapung di laut selama berhari-hari karena melarikan diri dari konflik Myanmar lima tahun lalu ternyata tak berakhir setelah mereka diselamatkan dan dibawa ke daratan. Hidup ratusan kaum Rohingya yang tersebar di beberapa kota di Indonesia hingga kini ternyata masih terkatung-katung. 

Larangan bekerja, memperoleh pendidikan legal, hingga menikah membuat Rohingya merasa tidak mendapatkan hak mereka sebagai manusia. Lembaga dunia yang menangani masalah pengungsi United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mencatat, hingga awal 2016 ada 795 orang pengungsi dan 244 pencari suaka dari Myanmar yang tinggal di Indonesia.

Dalam situs resminya, UNHCR menyebut pihaknya membutuhkan dana sekitar USD7,4 juta atau sekitar Rp 98,5 miliar untuk menangani 13.829 pengungsi di Indonesia, termasuk dari Myanmar.  

Meski angka tersebut terdengar fantastis, namun beberapa orang Rohingya yang ditemui Anadolu Agency mengaku tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dari uang yang diberikan oleh UNHCR dan International Organization of Migration (IOM), lembaga yang bekerja sama dengan UNHCR dalam penanganan imigran.

“Uang Rp 1,2 juta per bulan, kalau untuk kita itu Alhamdulillah cukup untuk makan. Tapi untuk beli baju dan kebutuhan yang lain tidak cukup,” ujar Muhammad Musa, 22, warga Rohingya asal kampung Mongdo, Arakan. 

Pria yang kabur dari Myanmar saat berusia 18 tahun ini bercerita, dia melarikan diri bersama teman sekampungnya. Konflik di Myanmar pada tahun 2012 membuat dia kesulitan mencari kerja. Keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi pun terasa sangat sulit di tengah kondisi yang tak menentu itu.

“Saya kabur bersama 70 orang teman sekampung saya. Waktu itu saya ingin ke Australia, karena teman saya bilang di sana kami bisa bersekolah. Tujuan kami pertama saat itu adalah ke Malaysia, kemudian Indonesia, baru ke Australia. Tapi kami tidak jadi ke Malaysia, langsung ke Indonesia,” tuturnya. Tapi, di tahun 2013 itu mereka ditahan oleh polisi Indonesia di Aceh. 

Dua bulan lebih tinggal di Aceh, Musa kemudian dikirim ke kamp pengungsi di Tanjung Pinang. Setelah 8 bulan hidup di dalam tahanan, Musa bersama teman-temannya dipindahkan ke Makassar. Memang, kehidupan di luar tahanan terasa lebih baik bagi para Rohingya. 

Alasannya, mereka yang berada di dalam tahanan hanya mendapat makan. Sedangkan mereka yang berada di luar kamp, mendapat sokongan dana hidup Rp 1,2 juta per bulan untuk pria dewasa, Rp 1 juta untuk wanita, dan Rp 500 ribu untuk anak-anak.

Namun keinginan untuk keluar dari tahanan atau kamp tidak diinginkan orang Rohingya semata-mata demi mendapatkan uang bulanan yang pasti. Pendataan oleh UNHCR lewat kartu pengungsi yang didapatkan setelah keluar dari tahanan lah yang mereka incar. Kartu identitas yang secara fisik mirip KTP ini, bagai sebuah harapan baru para pengungsi. 

Sayangnya, harapan tak menjadi kenyataan. Ketika mereka hidup dengan bebas di rumah pengungsi yang sudah disiapkan dan mendapat kartu identitas UNHCR, para Rohingya ternyata masih tidak dapat menikmati kehidupan yang layak karena berbagai larangan.

Musa mengatakan, UNHCR berjanji jika kartu sudah dipegang oleh para pengungsi, akan ada solusi yang diberikan untuk kehidupan mereka. “Salah satu solusi yang dijanjikan adalah dipindah ke negara ketiga dari Indonesia. Kalau tidak punya kartu itu, tidak bisa dipindah,” ungkapnya. 

Tahun demi tahun berlalu, pengungsi dari negara lain datang dan pergi di rumah pengungsi, tapi para Rohingya hanya mendapat janji manis dari UNHCR. Tak dapat dielakkan, Rohingya merasa didiskriminasi oleh pihak UNHCR. 

“Ada pengungsi dari negara lain yang bebas. Banyak dari mereka sudah pindah ke negara ketiga. Kalau kita orang Myanmar tidak diproses. Jadi sangat terasa diskriminasi. Staf UNHCR yang menemui kami bilang Rohingya bukan prioritas UNHCR Indonesia,” tutur Musa. 

Tak sampai di situ, Musa menyebut, pihak UNHCR juga sempat mengatakan bahwa tidak ada negara yang mau menerima Rohingya. “Tapi mereka tidak bisa kasih bukti penolakan dari negara-negara tersebut,” katanya.

Jika saja Indonesia membuat batas waktu tinggal...

Dalam penjelasan di situs resminya, UNHCR menyebut bahwa Indonesia tidak masuk dalam Konvensi 1951 tentang Pengungsi ataupun Protocol 1967 yang memiliki tradisi menerima pengungsi dan pencari suaka. Meski begitu, pemerintah Indonesia telah menyetujui UNHCR mengambil peran untuk melindungi dan mencarikan solusi masalah para pengungsi yang ada di Indonesia.

Dalam laman tersebut, peraturan Imigrasi Indonesia memastikan bahwa pengungsi dan pencari suaka mempunyai akses ke UNHCR dan mengizinkan mereka untuk sementara tinggal di Indonesia, hingga status pengungsi terkonfirmasi dan masalah mereka terpecahkan. 

Per 29 Februari 2016, UNHCR mencatat ada 13.829 pengungsi dan pencari suaka yang terdata di Indonesia. Jumlah tersebut terbagi menjadi 6.269 pengungsi dan 7.560 pencari suaka.  Lonjakan jumlah pengungsi terjadi pada Mei 2015 ketika hampir 1000 orang Rohingya dari Myanmar diselamatkan dari perairan Indonesia. 

UNHCR juga menyatakan membuat solusi komprehensif untuk menangani pengungsi dan pencari suaka lewat beberapa cara. Lembaga ini menyebut, penanganan dilakukan berdasarkan situasi dan kondisi masing-masing individu. 

Penanganan yang dilakukan oleh UNHCR mulai dari pemersatuan kembali keluarga pengungsi, repatriasi secara sukarela, penempatan kembali ke negara ketiga untuk pengungsi yang dianggap rentan, dan mekanisme perlindungan yang berfokus pada pelatihan kejuruan agar pengungsi siap bekerja serta bergabung dalam kegiatan komunitas masyarakat setempat untuk membuat kerajinan yang dapat menghasilkan uang kelak.

Pada 2015, UNHCR mencatat sekitar 610 pengungsi telah diberangkatkan ke negara ketiga. Sedangkan 1.494 lainnya telah diajukan untuk mendapat pertimbangan kepindahan ke beberapa negara seperti Australia, Kanada, Jerman, New Zealand dan Amerika Serikat. Tahun sebelumnya, UNHCR juga mendata sudah mengajukan 1.514 pengungsi dengan 836 di antaranya telah dikirimkan ke negara ketiga. 

Di sisi lain, fasilitas repatriasi untuk pengungsi juga dilakukan kepada pencari suaka yang meminta dikembalikan ke negara mereka. Untuk memuluskan sistem ini, UNHCR bekerja sama erat dengan IOM. Pada 2015, sekitar 343 orang pengungsi telah dikembalikan ke negara asal, sedangkan di 2014 sekitar 257 orang juga sudah dikirim kembali ke negara mereka. 

Hingga tahun lalu, UNHCR mencatat ada 4.007 kasus dengan 6.090 orang pengungsi dan pencari suaka yang sedang menjalani wawancara untuk kemudian dipindahkan ke negara ketiga atau dikembalikan ke negara asal. 

Biasanya, sebuah proses pengajuan perpindahan hingga wawancara membutuhkan waktu 8 hingga 20 bulan, tergantung kompleksitas kasus pengungsi. Dari data yang dimilikinya hingga awal 2016, UNHCR mencatat ada 795 orang pengungsi dan 244 pencari suaka dari Myanmar. 

Meski UNHCR mengklaim telah memproses dan mengirimkan pengungsi di Indonesia ke beberapa negara ketiga, namun para Rohingya ternyata harus pasrah menanti kebaikan hati UNHCR. Musa menyebut, Rohingya tidak akan menyalahkan pemerintah Indonesia atas kondisi yang mereka alami.

“Kami tahu bahwa Indonesia tidak ikut Konvensi 1951. Tapi karena tidak ada aturan dari pemerintah Indonesia jadi kami bergantung pada UNHCR. Kalau saja ada limitasi dari Indonesia tentang berapa lama kami boleh tinggal di sini, UNHCR pasti tidak bisa menunda-nunda kami seperti ini,” ujarnya.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın