Türkİye, Dunia

Bukan pengungsi, warga Suriah jadi ‘saudara angkat’ bagi Turki

Para pengungsi Suriah yang hidup di kamp Elbeyli di selatan kota Kilis merasakan sambutan hangat bak saudara yang telah lama terpisah dari Turki

Astudestra Ajengrastrı  | 24.04.2018 - Update : 25.04.2018
Bukan pengungsi, warga Suriah jadi ‘saudara angkat’ bagi Turki Seorang anak bermain sepeda di kamp pengungsi Elbeyli, Kilis, Turki, pada 20 April 2018. (Astudestra Ajengrastri - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Astudestra Ajengrastri

Kilis, TURKI/Al Bab, SURIAH

Gadis cilik keturunan Suriah dengan rambut kucir ekor kuda itu tersenyum semringah. Dengan lantang, dia mendeklamasikan lirik ‘Istiklal Marsi’, lagu kebangsaan Turki, di hadapan belasan orang yang menyambut pembacaan deklamasi itu dengan tepuk tangan meriah. Kembali, senyumnya mengembang.

Tanggal 23 April kemarin adalah peringatan Hari Anak di Turki. Sudah sejak pekan lalu, anak-anak pengungsi dari Suriah yang berada di kamp pengungsi Elbeyli, di kota perbatasan Kilis, Turki, berlatih untuk perayaan ini. Mereka bakal menampilkan berbagai nyanyi-nyanyian lagu Suriah dan puisi berbahasa Turki.

Bahkan, saat rombongan Anadolu Agency menyambangi kamp Elbeyli pada Jumat pekan lalu itu, suara-suara anak kecil bersahut-sahutan berlatih menyanyikan sebuah lagu Suriah, menggema di dalam koridor gedung sekolah yang terbuat dari kontainer tersebut. Dendang mereka ceria, tak terdengar kesedihan atau luka yang menggambarkan anak-anak ini pernah mengalami kepahitan hidup di usia yang begitu muda.

Kebanyakan dari mereka tiba di Elbeyli bersama ibu mereka – ayah mereka rata-rata tewas karena perang, baik di tangan militan atau akibat kekejaman rezim. Sesampainya di Turki, mereka disambut sebaik-baiknya sebuah negara menerima gelombang pengungsi dari negara lain yang sedang didera konflik.

Kamp Elbeyli menampung sekitar 13.000 pengungsi dari Suriah, kebanyakan wanita dan anak-anak. Saban hari, 680 anak mendapatkan pendidikan, mulai dari usia Taman Kanak-Kanak hingga pendidikan yang lebih tinggi. Seminggu sekali, mereka menerima sekotak susu dan buah-buahan kering, sama seperti anak-anak sekolah di seluruh Turki.

Mereka pun diajari bahasa Turki sehingga bisa berkomunikasi dengan masyarakat di sekitar kamp, jika suatu saat nanti mereka bisa keluar untuk mencari pekerjaan.

“Apa yang anak-anak kami [Turki] terima di sekolahnya, mereka [anak pengungsi] juga menerima hal yang sama. Apa yang kami pakai, mereka pakai,” kata Umar Yilmaz, Wakil Pemerintah Daerah Kilis, menyebut bahwa pengeluaran untuk pendidikan di kamp ini ditanggung oleh Kementerian Pendidikan Turki bekerja sama dengan UNICEF.

Menyulam untuk lira

Delapan wanita berkerudung bekerja dalam diam di salah satu dari 16 ruangan di sisi lain kamp Elbeyli. Beberapa menghadap alat pintal yang dipakai untuk membuat karpet, sementara beberapa lainnya duduk berkerumun dan mengerjakan bordiran dengan tangkas. Di tengah-tengah ruangan itu, sebuah meja menampung tumpukan karpet-karpet wol berukuran alas salat.

Pengelola kamp, Juma Turkmaz, menyebut bahwa mereka bekerja sama dengan pabrik tekstil di Turki untuk memasarkan buah tangan para pengungsi ini. Jika selembar karpet dijual seharga 1.200 lira kepada konsumen, para wanita ini bisa mendulang setidaknya 500 lira.

Halima, salah satu wanita yang bekerja di pusat pelatihan ini, bisa menyelesaikan satu karpet dalam dua bulan kerja. Halima yang merupakan wanita tertua di ruangan ini kehilangan suaminya karena agresi militer dari rezim Bashar al-Assad di Suriah.

Zahira, yang berasal dari Jisr al-Shughur di Idlib, lebih muda dan produktif ketimbang Halima. Dia bisa menyelesaikan satu karpet dalam waktu sepuluh hari. Namun sama seperti Halima, Zahira juga kehilangan suaminya akibat perang.

Seorang wanita Suriah memintal karpet di kamp pengungsi Elbeyli, Kilis, Turki, pada 20 April 2018. Dari setiap karpet yang terjual dengan harga 1.200 lira, para wanita di kamp ini mendapatkan upah hingga 500 lira. (Astudestra Ajengrastri - Anadolu Agency)

Beban psikologis akibat peperangan memang seakan menggelayut di Elbeyli, seperti juga di kamp-kamp pengungsi lain. Namun setidaknya, di Elbeyli mereka bisa berbagi lara di pusat rehabilitasi psikologis yang juga disediakan di ‘desa kontainer’ ini.

“Situasi di sini lebih baik ketimbang tetap berada di Suriah. Bagi kami, sudah cukup bahwa kami berada jauh dari perang dan diterima dengan baik oleh Turki,” sebut Zia, wanita yang bekerja membordir motif bunga-bunga untuk baju anak-anak. Untuk setiap baju yang dia selesaikan, Zia mendapatkan 50 lira.

“Jika nanti perang berakhir, Insha Allah, saya akan kembali ke rumah. Tapi saya tidak akan melupakan apa yang telah dilakukan Turki untuk kami,” ucap Rana Bakir, wanita lain yang juga mengerjakan bordir baju.

Menurut data nasional, Turki menampung 3,5 juta pengungsi yang tersebar di beberapa kamp di negara ini. Bisa jadi, angka sebenarnya kini lebih besar. Kepada setiap pengungsi yang datang, Turki – melalui masyarakat maupun pejabat pemerintahannya – memperlakukan mereka seperti saudara.

“Kami tidak punya agenda tersembunyi. Tidak seperti yang kerap digambarkan media Barat, kami melakukannya murni dari hati,” Yilmaz berujar.

Uluran tangan di Al Bab

Enam bulan ini, uluran bantuan dari Turki juga dirasakan oleh para pengungsi yang meninggali distrik Al Bab, wilayah Aleppo, di Suriah. Berjarak 35 kilometer dari perbatasan terluar Turki, Al Bab kini adalah rumah bagi 13.900 pengungsi, kebanyakan berasal dari Ghouta Timur yang saat ini masih berada dalam pusaran konflik.

Yang diusahakan oleh Turki, menurut Senol Esmer, Wakil Pemerintah Daerah Gaziantep di Turki, adalah untuk membuat Al Bab dan dua kota lain yakni Bzaa dan Qabasin “layak dihidupi kembali”.

Sejak operasi Pelindung Eufrat yang diluncurkan Turki berakhir pada 20 Maret 2017, Kementerian Pertahanan Turki bekerja sama dengan Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kesehatan untuk mengusahakan ketiga kota jadi layak huni.

Pemerintahan lokal yang diisi oleh warga Suriah dibentuk, dan bersama-sama mereka menyusun kembali kehidupan di kota yang luluh lantak akibat serangan Daesh dan perang saudara itu.

“Dana yang dibutuhkan untuk pembangunan kami bagi dua, dari pemerintahan lokal dan dari Turki,” papar Esmer.

Perekonomian warga lokal memang sudah berangsur-angsur hidup kembali. Sepanjang jalanan Al Bab, sejumlah warung dan pasar tampak beroperasi. Listrik bahkan sudah mulai menerangi rumah-rumah di distrik ini, meski masih disokong oleh generator. Minyaknya disuling sendiri oleh warga dari kilang-kilang yang masih bisa ditemui di Al Bab.

Seorang pria menjaga toko yang menjual buah-buahan dan kebutuhan pangan di distrik Al Bab, Aleppo, Suriah, pada 20 April 2018. Kehidupan mulai berjalan normal di Al Bab, salah satunya berkat bantuan dari negara tetangganya, Turki. (Astudestra Ajengrastri - Anadolu Agency)

Warga juga mendapatkan keuntungan dari menjual bahan pertanian berupa kacang pistachio dan zaitun. Selain itu, mereka juga beternak domba.

Gedung sekolah direnovasi dan dibangun, kata Esmer, menyusul banyaknya minat untuk belajar oleh anak-anak dan para wanita. “Kebanyakan istri dari pejuang Free Syrian Army [FSA] ingin belajar membaca,” ujar dia.

Fasilitas-fasilitas lain yang juga dioperasikan kembali adalah rumah sakit, panti asuhan, masjid, pusat olahraga, dan bank. Tiap-tiap kota juga kini memiliki sistem peradilan, dengan satu hakim dan satu jaksa penuntut umum.

“Ini kemajuan besar. Saat pertama tiba di sini, kami menemui anak kecil yang belum pernah melihat pisang selama hidup mereka, karena mereka tinggal selama 3-4 tahun bersembunyi di bawah tanah,” kisah Esmer.

Kehidupan memang belum sepenuhnya normal di Al Bab. Reruntuhan gedung pasca perang dan sisa-sisa ranjau darat masih mengancam. Namun setidaknya, kini para pengungsi sudah bisa menikmati sore dengan duduk-duduk bersama di taman kota atau sekadar menyesap teh panas di pekarangan rumah mereka.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.