Internet sebabkan generasi milenial Indonesia radikal
Sebuah riset menemukan bahwa 84,94 persen generasi milenial Indonesia mengakses internet

Jakarta Raya
Hayati Nupus
JAKARTA
Internet menjadi salah satu faktor penyebab mengapa generasi Z Indonesia menjadi intoleran dan radikal.
Kesimpulan ini berdasarkan riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta terhadap 2.181 muslim dari 34 provinsi seindonesia sepanjang 1 September – 7 Oktober tahun ini.
Generasi Z merupakan anak yang lahir setelah tahun 1995. Sejak lahir, mereka telah terbiasa dengan gawai, laptop dan internet.
Riset tersebut menyimpulkan sebanyak 84,94 persen generasi milenial Indonesia mengakses internet. Sedang sisanya, 15,06 persen generasi milenial tak mengakses internet.
Sebanyak 54,87 persen menjadikan internet sebagai sumber pengetahuan agama. Lewat jejaring maya generasi milenial mengakses media sosial, blog maupun laman web radikal seperti Voa-Islam.com dan sejumlah laman lainnya.
“Mereka yang tidak menggunakan internet malah moderat, karena media sosial yang tersdia banyak memuat laman atau pendapat intoleran dan radikal,” ujar Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta Saiful Umam pada Rabu di Jakarta.
Terbukti, sebanyak 58,5 persen pelajar Indonesia beropini radikal, 51,1 persen memiliki intoleransi internal umat Islam dan 34,3 persen memiliki intoleransi eksternal antar umat beragama
Menyoal jihad, umumnya generasi milenial berpandangan moderat. Sebanyak 62,29 persen tidak setuju jika jihad diartikan berperang melawan nonmuslim, 76,65 persen tidak setuju aksi bom bunuh diri dan 65,57 tidak setuju jika orang murtad boleh dibunuh.
Sisanya, jumlah persentasi yang setuju, ujar Saiful, tampak tidak signifikan. Namun jika dikalikan dengan jumlah masyarakat Indonesia angkanya menjadi besar.
“Tak butuh mayoritas orang untuk membuat aksi bom Bali yang, cukup minoritas yang sedikit itu yang melakukan,” kata dia prihatin.
Meski begitu riset ini juga mengungkap bahwa generasi milenial Indonesia lebih bertoleransi pada pemeluk agama lain ketimbang pemeluk agama Islam dalam pemahaman berbeda.
Sebanyak 79,07 persen generasi milenial setuju bahwa Kristen bukan musuh muslim. Musuh muslim dalam hasil riset itu justru Yahudi, sebanyak 53,74 generasi milenial mengamininya.
Konflik Palestina yang menyebabkan mereka setuju kalau Yahudi musuh Islam,” kata dia.
Namun hasil riset menunjukkan 49 persen generasi milenial tak setuju jika pemerintah harus melindungi penganut Syiah dan Ahmadiyah. Sebanyak 86,55 persen justru setuju jika pemerintah melarang keberadaan kelompok minoritas yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Untuk mengatasi persoalan ini, Direktur Pendidikan Tinggi, IPTEK dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas RI Amich Alhumami memetakan pentingnya upaya pemberian wawasan kebangsaan lewat pendidikan agama.
Pendidikan agama di Indonesia, kata dia, lebih banyak mengajarkan siswa soal praktik ibadah seperti shalat dan puasa ketimbang pemahaman agama yang lain seperti kemanusiaan.
“Ini berbeda dengan sekolah di Australia atau Amerika yang lebih banyak mengajarkan nilai-nilai universal, nilai-nilai humanisme,” kata dia.