Dunia, Analisis

Pakar Holocaust Israel-Amerika sebut Israel 'terlibat dalam aksi genosida' di Gaza

'Saat ini, Israel terlibat dalam tindakan genosida di Gaza,' kata Omer Bartov, profesor studi Holocaust dan genosida di Universitas Brown

Michael Gabriel Hernandez  | 21.08.2024 - Update : 21.08.2024
Pakar Holocaust Israel-Amerika sebut Israel 'terlibat dalam aksi genosida' di Gaza Ilustrasi tentara Israel.

WASHINGTON 

Perang Israel di Jalur Gaza yang terkepung telah menewaskan lebih dari 40.000 warga Palestina, termasuk puluhan ribu wanita dan anak-anak, dan membuat dua juta lainnya mengungsi, membuat mereka rentan terhadap kelaparan dan penyakit.

Tentara Israel berulang kali mengunggah video ke media sosial yang berisi bualan dan tawa saat mereka menghancurkan properti warga sipil, termasuk rumah, universitas, dan seluruh lingkungan.

Banyak rekaman yang menampilkan variasi kalimat yang umum diungkapkan saat bangunan di Gaza dihancurkan menjadi puing dan abu: "Ratakan semuanya."

Di tengah kehancuran massal tersebut, Mahkamah Internasional (ICJ) sedang mengevaluasi agresi Israel dalam kasus yang diajukan oleh Afrika Selatan untuk menentukan apakah tindakan tersebut merupakan "kejahatan dari semua kejahatan" menurut hukum internasional: genosida.

Pertimbangan pengadilan diperkirakan akan memakan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan.

Namun putusan sementara menetapkan bahwa “setidaknya beberapa tindakan dan kelalaian yang dituduhkan Afrika Selatan telah dilakukan oleh Israel di Gaza tampaknya dapat masuk dalam ketentuan Konvensi (Genosida).”

Omer Bartov, seorang sarjana Holocaust Israel-Amerika, mengatakan bahwa pemeriksaan cermatnya terhadap tindakan militer Israel di Gaza sejak Oktober lalu telah membuatnya menyimpulkan bahwa tidak mungkin lagi untuk menyangkal bahwa Israel “terlibat dalam tindakan genosida di Gaza.”

"Seiring berjalannya waktu, Anda dapat melihat bahwa tindakan IDF (Pasukan Pertahanan Israel) telah mencapai skala penghancuran yang disengaja dan terarah – terhadap universitas, rumah sakit, sekolah, masjid, infrastruktur, dan kawasan perumahan – dan penduduk dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain dengan alasan demi keselamatan mereka sendiri," kata Bartov, mantan komandan infanteri Israel yang kini menjadi Profesor Samuel Pisar untuk Studi Holocaust dan Genosida di Universitas Brown, kepada Anadolu.

“Dan sementara itu, (populasi) makin dilemahkan oleh hal ini, dan tidak pernah aman di 'zona aman'-nya, tetapi terus-menerus diserang.”

Invasi Rafah adalah titik balik

Bartov menulis opini di New York Times pada awal November yang menyatakan bahwa "sangat mungkin" kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh Israel di Gaza, dan dia memperingatkan lebih lanjut bahwa Israel berada dalam bahaya terjerumus ke dalam genosida.

“Masih ada waktu untuk menghentikan Israel agar tindakannya tidak berubah menjadi genosida,” tulisnya sekitar sembilan bulan yang lalu.

Bartov mengatakan evaluasi tersebut berubah setelah invasi Israel pada bulan Mei ke Rafah, yang merupakan kota terakhir di Gaza yang memiliki tingkat keamanan tertentu bagi sekitar 1,5 juta warga sipil yang mencari perlindungan di sana.

"Bagi saya, itu berarti bahwa sama sekali tidak ada perhatian terhadap kehidupan manusia atau pertimbangan kemanusiaan, tetapi lebih kepada upaya untuk membuat penduduk Gaza tidak mungkin hidup, dan melemahkan penduduk sedemikian rupa sehingga mereka akan punah, entah karena aksi militer atau karena banyaknya penyakit yang ada di sana, karena kesehatan yang memburuk dalam skala besar, atau mencoba melarikan diri sebisa mungkin," urai dia.

Gema Nakba 1948

Bartov mengatakan bahwa meski tidak jelas apakah perang itu dimulai dengan niat genosida, dia telah mengidentifikasi kesamaan dengan perang yang sedang berlangsung saat ini di Gaza dan serangkaian pemindahan paksa pada 1948, ketika sekitar 750.000 warga Palestina terbunuh atau dipaksa meninggalkan rumah mereka di wilayah yang sekarang disebut Israel.

Rumah-rumah mereka dan seringkali seluruh desa dihancurkan untuk mempersulit kemungkinan pemulangan. Warga Palestina menyebut peristiwa-peristiwa itu sebagai Nakba, yang dalam bahasa Arab berarti "malapetaka."

“Saya tidak tahu apakah kita akan pernah tahu apakah ada rencana sejak awal. Saya agak meragukannya, karena ketidakmampuan umum militer Israel dan otoritas politik yang terungkap pada 7 Oktober dan setelahnya.”

“Jadi, saya tidak yakin ada rencana. Ada orang-orang yang mendorong itu. Ada orang-orang yang mendorong untuk mengosongkan Gaza, dan menghancurkan kemampuan mereka untuk kembali,” kata Bartov.

“750.000 orang Palestina diusir, sebagian besar penduduk di wilayah yang kemudian menjadi wilayah Israel, lalu rumah-rumah mereka dihancurkan, desa-desa mereka dihancurkan, sehingga mereka tidak dapat kembali ke sana … Jadi itu membuat saya menyadari bahwa ini, jika bukan sebuah rencana, itu adalah upaya bersama sejak awal untuk menciptakan situasi itu. Sekarang, apakah itu akan berhasil atau tidak, itu masih belum pasti,” tambah dia.

Persamaan tentara Israel dengan militer Nazi

Bartov juga melakukan penelitian penting tentang militer Nazi, yang dikenal sebagai Wehrmacht, selama Perang Dunia II, khususnya pemusnahan penduduk sipil tanpa pandang bulu dan indoktrinasi yang memicu pembunuhan tersebut.

Hal ini termasuk menanamkan kepercayaan kepada masyarakat luas bahwa “musuh” mereka adalah submanusia, dan bahwa bangsa tersebut sedang memerangi ancaman eksistensial terhadap keberadaannya.

Dalam percakapan dengan tentara Israel selama kunjungan dua minggu terakhir ke negara tersebut, Bartov mengatakan bahwa ia menemukan bahwa pasukan yang bertempur di Gaza “memiliki cara pandang tertentu terhadap realitas,” yang mencerminkan mentalitas yang ia identifikasi di antara tentara Jerman dalam Perang Dunia II.

"Realitas yang mereka lihat adalah bahwa mereka sedang melawan musuh yang licik, berbahaya, dan suka melakukan genosida. Jika musuh itu menang, maka mereka akan hancur. Musuh itu adalah musuh yang tujuannya adalah untuk memusnahkan Israel. Begitulah cara mereka melihatnya," jelas dia.

“Mereka menganggap diri mereka sebagai korban genosida, pembunuhan, atau organisasi teroris ini, dan mereka yakin bahwa apa yang mereka lakukan sepenuhnya benar, bahwa mereka harus melakukannya, dan semua kerusakan yang mereka timbulkan bukan karena mereka jahat.”

“Mereka terus berkata kepada saya, 'Kami bukan pembunuh. Kami berjuang untuk negara kami. Kami berjuang untuk kelangsungan hidup kami.' Jadi, jika Anda memiliki cara pandang seperti itu terhadap realitas, maka Anda menutup rasa empati terhadap penduduk yang tidak bersalah, yang Anda sendiri turut serta dalam pembunuhan dan penghancuran. Anda tidak melihatnya seperti itu. Anda melihat diri Anda sebagai korban,” tutur dia.

Bartov menambahkan, “Ini adalah jenis mentalitas yang saya identifikasi di antara tentara Jerman dalam Perang Dunia II.”

"Puluhan tahun setelah Perang Dunia II, orang Jerman tidak dapat menerima, mereka dapat menerima bahwa SS (Schutzstaffel) melakukan Holocaust dan sebagainya. Namun bagi mereka untuk menganggap militer, yang mewakili setiap keluarga Jerman di Jerman … (sebagai) tentara … yang terlibat dalam usaha genosida adalah hal yang mustahil, baik bagi para prajurit maupun berbagai kerabat mereka," kata dia.

Bartov menekankan bahwa analisisnya tidak berarti bahwa perang Israel di Gaza setara dengan Holocaust, dan dengan tegas dia mengatakan: “Tidak.”

“Namun saat ini, Israel, sebagaimana ... saya simpulkan, terlibat dalam tindakan genosida di Gaza. Itu tidak harus seperti Holocaust. Ada banyak kasus lain. Holocaust adalah genosida terbesar dalam sejarah, dan itu sangat berbeda dari apa yang kita lihat sekarang, tetapi itu tidak membebaskan Israel dari tanggung jawab atas tindakannya sendiri,” imbuh dia.

Wilayah Tepi Barat yang diduduki hadapi pembersihan etnis

Perang di Gaza telah mendominasi berita utama internasional selama hampir setahun. Namun, hanya sejauh 34 kilometer, Tepi Barat yang diduduki telah menyaksikan peningkatan tingkat serangan dari pemukim Israel yang tinggal di pemukiman khusus Yahudi yang dianggap ilegal menurut hukum internasional.

Kamis malam lalu, segerombolan pemukim bersenjata menyerbu desa Palestina Jit, melepaskan tembakan dan melemparkan bom molotov saat mereka menghancurkan properti warga sipil. Seorang penduduk, yang diidentifikasi sebagai Rashid Sedda, tewas dalam kekerasan tersebut.

Itu hanyalah serangan terbaru dari serangkaian serangan semacam itu.

PBB mengatakan minggu lalu bahwa pihaknya telah mencatat 1.250 serangan pemukim terhadap komunitas Palestina sejak 7 Oktober.

Sekitar 10 persen serangan pemukim menyebabkan kematian atau cedera warga Palestina, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan di Wilayah Palestina yang Diduduki.

Bartov bersikeras bahwa serangan tersebut memang "disetujui negara" dan memiliki "akar panjang" dalam pemerintahan Israel menyusul keputusan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk membentuk koalisi dengan anggota sayap kanan, dengan menunjuk Itamar Ben-Gvir sebagai menteri keamanan nasional dan penghasut pemukim Bezalel Smotrich sebagai menteri keuangan.

Selain portofolionya sebagai menteri keuangan, Netanyahu juga menunjuk Smotrich, yang dengan bangganya menyangkal keberadaan rakyat Palestina, sebagai menteri dalam Kementerian Pertahanan yang mengawasi operasi militer di Tepi Barat.

Sementara itu, Ben-Gvir memegang kekuasaan yang hampir tak terkendali di polisi Israel, penjaga perbatasan, dan pasukan keamanan lainnya.

"Apa yang terjadi di Tepi Barat sekarang adalah situasi pembersihan etnis yang dilakukan oleh para pemukim. Bukan semua pemukim yang melakukannya, tetapi elemen radikal di dalam pemukim. Dan banyak di antara mereka yang merupakan penjahat," kata Bartov.

"Tentara seharusnya mengendalikan itu, tetapi tentara, pada kenyataannya, terlibat di dalamnya. Banyak orang yang Anda lihat sekarang, jika Anda melihat rekaman dari peristiwa ini, yang mengenakan seragam, adalah pemukim berseragam. Para pemukim telah diberi seragam, telah dimiliterisasi, dan mereka seharusnya mengendalikan para pemukim yang tidak berseragam.”

"Jadi, ini sekarang menjadi kebijakan pemerintah. Tentu saja, pemerintah tidak akan mengatakan ini sebagai kebijakan, tetapi kebijakannya adalah, di Tepi Barat, menciptakan kondisi bagi warga Palestina (yang) semakin tidak mungkin."

Cendekiawan tersebut berpendapat bahwa serangan pemukim adalah “buah busuk” yang tumbuh dari desakan Netanyahu selama puluhan tahun bahwa pendudukan Tepi Barat dapat “dikelola.”

“Pengelolaan pendudukan telah sepenuhnya merusak sistem politik Israel, moral dan etika Israel, dan tentu saja telah menimbulkan kerusakan besar bagi warga Palestina,” kata Bartov.

“Tanpa mengubahnya, apa yang Anda lihat sekarang adalah buah-buah busuk dari penolakan untuk menghadapi fakta bahwa Israel menduduki populasi yang sangat besar, sama besarnya dengan populasi Yahudi di negara itu sendiri,” tukas dia.


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın