ANALISIS - Arab Saudi kalah perang minyak; mungkin juga akan kehilangan satu-satunya sekutu Baratnya
Pertaruhan Saudi menempatkan Moskow dalam posisi yang lebih baik tidak hanya berhadap-hadapan dengan AS, tetapi juga berkaitan dengan hubungan Saudi-Rusia sendiri
Istanbul
Dr. Ali Hussein Bakeer
- Penulis adalah seorang analis hubungan internasional dan penasihat politik
ISTANBUL
Selama beberapa tahun terakhir, Rusia dan Arab Saudi telah mengintensifkan upaya rekonsiliasi mereka dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) mengunjungi Rusia pada Mei 2017 membuka jalan bagi Raja Salman untuk bertemu Putin di Moskow pada Oktober tahun yang sama.
Kunjungan itu, yang pertama dilakukan oleh raja Saudi yang sedang bertakhta ke Rusia, kemudian dielu-elukan sebagai pertemuan bersejarah di media Rusia dan Saudi.
Moskow menggelar karpet merah untuk Raja Salman.
Banyak ahli berharap bahwa kunjungan itu akan membuka babak baru bersejarah dalam hubungan antara kedua negara.
Karena Riyadh sebelumnya berjanji untuk berinvestasi miliaran dolar di Rusia, termasuk USD10 miliar dalam investasi langsung Rusia.
Persepsi tersebut kemudian mendapat perhatian pada November 2018 setelah tos yang menghebohkan yang dilakukan antara putra mahkota Saudi dan Presiden Rusia Putin saat pertemuan G-20 di tengah isolasi internasional terhadap MBS setelah membantai jurnalis kawakan Jamal Khashoggi.
Kunjungan Putin ke Kerajaan Saudi pada Oktober 2019 dan kesepakatan minyak pada Desember tahun yang sama memberi kesan bahwa hubungan Saudi-Rusia sedang dalam kondisi terbaiknya.
Tetapi setelah itu, Rusia mulai menyadari bahwa Saudi banyak berjanji tetapi sedikit menepati.
Aliansi suci demi minyak antara MBS dan Putin yang membantu kedua belah pihak meningkatkan pendapatan sektor energi mereka dan menciptakan ikatan antara keduanya telah bubar.
Sejak 2016, minyak telah menjadi inti dari hubungan Saudi-Rusia yang semakin dalam.
Riyadh dan Moskow telah bekerja sama di bawah payung OPEC+ untuk menstabilkan pasar minyak dunia dan menjaga harga komoditas tersebut pada tingkat yang menguntungkan.
Pada bulan Desember 2019, menteri perminyakan Saudi membayangkan bahwa kesepakatan OPEC untuk mengekang produksi minyak dengan sekutu non-OPEC, termasuk Rusia, akan bertahan lama, dan tetap teguh "sampai kematian memisahkan mereka".
Tiga bulan kemudian, Riyadh dan Moskow melakukan perang minyak yang mengakibatkan penurunan harga minyak paling tajam dalam sekitar dua dekade.
Pekan lalu, kedua negara adikuasa minyak itu saling tuduh tentang siapa yang bertanggung jawab atas situasi saat ini.
Presiden Rusia Putin menuduh Arab Saudi menarik diri dari kesepakatan OPEC + dan mendorong harga lebih rendah dari USD40 per barel untuk menghancurkan para pesaing perusahaan minyak sempalan.
Arab Saudi merespons dengan dua pernyataan dari Menteri Luar Negeri Faisal bin Farhan dan Menteri Perminyakan Pangeran Abdul Aziz bin Salman, yang keduanya membantah tuduhan Rusia, menegaskan justru Moskow telah menarik diri dari kesepakatan OPEC + saat Saudi dan 22 negara lainnya sedang berupaya untuk memangkas produksi.
Perang harga minyak mengemuka dengan latar belakang permintaan Saudi untuk OPEC + agar melakukan pengurangan lebih banyak sebesar 1,5 juta barel per hari di tengah pandemi virus korona.
Rusia tidak menyetujui permintaan pemangkasan produksi minyak yang mengakibatkan kegagalan perjanjian sebelumnya antara kedua belah pihak dan membanjirnya pasar minyak dengan minyak Saudi.
Saudi memaksa Moskow untuk menyetujui permintaan pemangkasan produsi tersebut di bawah tekanan harga rendah.
Dalam situasi seperti itu, orang mungkin bertanya-tanya mengapa perselisihan seperti itu memicu perang minyak antara kedua sahabat yang dianggapnya paling dekat.
Seperti yang dikatakan juru bicara perusahaan minyak Rusia Rosneft, Mikhail Leontiev, “Jika Anda selalu menyerah pada mitra, Anda bukan lagi mitra."
Ketika Saudi meminta Rusia untuk berkontribusi pada pemangkasan produksi minyak yang lebih besar, Moskow menganggap bahwa Riyadh melakukan kebaikan kepada AS atas biaya Rusia.
Karena pemangkasan yang lebih besar akan mempersulit posisinya berhadapan dengan beberapa pemain ketika datang ke pasar saham dan hanya akan memberdayakan perusahaan-perusahaan minyak AS.
Pemangkasan tersebut membawa lebih banyak manfaat kepada AS, yang lagi-lagi dengan mengorbankan Moskow.
Karena itulah ketika Saudi memutuskan membanjiri pasar dengan komoditasnya, Rusia tampaknya tidak terlalu mempermasalahkan permainan Saudi.
Saudi berpikir bahwa mereka dapat keluar dari perang minyak dengan kemenangan karena mereka dapat memanfaatkan dua juta barel per hari ekstra dibandingkan dengan kapasitas Rusia beberapa ratus ribu barel per hari.
Namun, Rusia tahu bahwa Riyadh tidak dapat menggunakan ‘leverage’ ini untuk waktu yang lama karena kapasitas penyimpanan dunia akan mencapai batasnya dan ketika ini terjadi, maka akan memaksa Riyadh untuk mengurangi produksi tanpa mampu memaksa Moskow untuk menyetujui kemauannya.
Dari perspektif Rusia, ketika Saudi memutuskan untuk melakukan perang minyak, dia menembak dirinya sendiri dan juga teman Amerikanya.
Jika mereka menghentikan perang pada saat ini, maka tidak ada salahnya membiarkan Arab Saudi menggelontorkan minyak dan perusahaan-perusahaan minyak AS akan kehilangan keuntungan dan pangsa pasar.
Kami akan kembali ke titik awal, hanya dengan Rusia dalam posisi yang lebih baik dari yang semula.
Namun, jika Saudi memilih untuk bernegosiasi, maka Rusia akan mendorong untuk memasukkan AS dalam setiap rencana pengurangan produksi minyak.
Mengelola konflik dengan cara demikian akan menjadi kemenangan besar bagi Moskow.
Riyadh tidak akan mencapai apa pun selain melukai dirinya sendiri dan sekutunya, pada akhirnya membantu Moskow mencapai tujuannya.
Tetapi, jika Saudi memilih untuk melanjutkan perang minyak, banyak negara penghasil minyak akan kecewa dengan Riyadh karena mereka bukan produsen sebesar itu dan mereka tidak memiliki banyak cadangan devisa untuk mengimbangi perbedaan harga yang besar.
Selain itu, perang minyak tidak hanya akan membunuh industri minyak AS tetapi juga mengancam peluang Donald Trump untuk terpilih kembali sebagai presiden AS.
Ini berarti bahwa Rusia dapat duduk santai menyaksikan Arab Saudi menghancurkan hubungannya dengan AS dan kehilangan satu-satunya sekutu di Barat.
Dengan kata lain, pertaruhan Saudi telah menempatkan Moskow pada posisi yang lebih baik tidak hanya berhadap-hadapan dengan AS, tetapi juga berkaitan dengan hubungan Saudi-Rusia sendiri.
Sejak 2017 Saudi telah mencoba memanfaatkan hubungan kerajaan itu dengan Rusia sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian pemerintahan AS.
Namun, setelah terjadinya perang minyak ini, Saudi berisiko kehilangan keduanya.
Setelah pertemuan terakhir OPEC dan pertemuan luar biasa para menteri energi G20 pada 10 April, banyak hal mengindikasikan bahwa mereka sedang menuju skenario kedua.
Namun, Meksiko menolak untuk memotong 400 ribu barel per hari, yang membawa mereka kepada skenario ketiga.
Sejumlah senator Republik di AS menanggapi situasi ini dengan mengancam Arab Saudi bahwa "Washington akan memotong bantuan militer jika Kerajaan tidak mengurangi produksinya, dan mengakhiri perang harga".
Beberapa yang lain, seperti Senator Kevin Cramer, mengatakan, "Langkah selanjutnya Arab Saudi akan menentukan apakah kemitraan strategis kami dapat diselamatkan."
Tetapi Senator Ted Cruz melangkah lebih jauh dengan mengancam Saudi: "Jika Anda ingin berperilaku seperti musuh Amerika, maka kami juga akan memperlakukan Anda seperti musuh kami."
Pada tingkat lain, dampak perang minyak terhadap kebijakan luar negeri Saudi terlihat jelas.
Merasakan kepedihan dari harga minyak yang rendah dan biaya tinggi dari petualangan regional mereka, Saudi tampaknya menjadi lebih terkekang dari sebelumnya.
Prioritas mereka bergeser, dan karena pandemi dan perang minyak, mereka perlu menyuntikkan banyak uang ke arena domestik.
Pekan lalu, Riyadh memutuskan untuk mengumumkan gencatan senjata sepihak di Yaman.
Jika Arab Saudi terus menantang Rusia, maka Moskow bisa mempersulit situasi Kerajaan yang sudah rumit dengan Iran, Suriah, dan Libya, dan bahkan di Yaman.
* Pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Anadolu Agency.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.