ANALISIS - Bagaimana fundamentalisme Yahudi mengambil alih demokrasi Israel
- Volume argumen rasis yang dikemukakan oleh perwakilan media Israel tentang Palestina, serta bungkamnya media besar dalam menanggapi penindasan ini, sangat memprihatinkan
Istanbul
ISTANBUL
Serangan Israel terhadap warga Palestina serta reaksi dari sejumlah politisi, jurnalis dan kelompok ekstremis Israel terhadap peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung menunjukkan betapa berbahayanya lintasan saat ini, tidak hanya bagi warga Palestina tetapi juga bagi generasi Israel di masa depan.
Pemandangan yang menunjukkan kaum Yahudi ultranasionalis - seperti yang kita lihat di berbagai laporan berita video - merayakan apa yang disebut "penaklukan Yerusalem" di depan Tembok Barat, sementara asap mengepul dari pohon-pohon yang terbakar dekat Masjid al-Aqsa saat bentrokan berlangsung, sangat mengkhawatirkan dalam banyak hal. [1]
Ekstremis Yahudi menari dan bernyanyi dengan gembira, tidak peduli dengan amukan api di tempat suci tepat di sebelah mereka.
Banyak orang menganggap pemandangan ini sangat meresahkan dan menakutkan karena menunjukkan motivasi dan kemarahan sejumlah kelompok Yahudi, tidak hanya terhadap warga Palestina tetapi juga terhadap identitas Islam Yerusalem.
Yang lebih mengkhawatirkan saat ini adalah argumen rasis yang dibuat oleh berbagai perwakilan media Israel terhadap warga sipil Palestina.
Berikut adalah sejumlah contoh: Attila Somfalvi, pembawa berita terkenal di saluran Ynet News, melalui akun Twitter-nya, menyerukan agar lingkungan-lingkungan di Gaza "dihapus" dan agar dilakukan "Nakba kedua" – pembunuhan masal warga Palestina. [2]
Wartawan Israel lainnya Ben Caspit juga mengusulkan untuk menghancurkan seluruh lingkungan di Gaza. [3]
Yang menurut kami sangat luar biasa adalah argumen yang sama bisa diajukan oleh jurnalis dari berbagai faksi politik di Israel.
Naveh Dromi, misalnya, yang seharusnya berada di tengah - beberapa bahkan menggambarkannya sebagai "sayap kiri" -, juga menyerukan "Nakba kedua". [4]
Lebih buruk lagi, seperti yang terlihat di media arus utama Israel, jurnalis dengan pandangan ekstremis memasukkan rekan mereka yang tidak mengikuti propaganda Netanyahu ke daftar hitam dengan mendesak agar mereka dituntut dan dihukum. [5]
Sayangnya, bahkan sejumlah politisi kiri harus mencari perlindungan polisi karena mereka terus-menerus menerima pesan yang mengancam sebagai tanggapan atas kritik mereka terhadap Netanyahu dan kebijakan Partai Likud. [6]
Ini tidak sepenuhnya mengejutkan, mengingat lanskap politik Israel saat ini yang sangat terfragmentasi.
Namun, perlu dicatat bagaimana propaganda elit Yahudi memiliki dampak negatif yang signifikan di wilayah tersebut dan prospek untuk segala jenis kesepakatan damai.
Hal ini terlihat dalam wawancara yang dilakukan oleh jurnalis Amerika Abby Martin dengan warga awam Israel di Yerusalem Barat. [7]
Seperti yang terungkap dalam wawancaranya, warga Israel biasa kebanyakan mengulangi argumen elit media, seperti, "Kami memberi mereka Gaza, mereka harus tinggal di sana, bukan di sini", "Orang Palestina harus pergi dan tinggal di negara-negara Arab", "Mereka (orang Palestina) adalah teroris, Israel memiliki hak untuk membela warganya, ”dan seterusnya, sambil menutup mata terhadap penindasan warga Palestina selama beberapa dekade.
Semua ini menunjukkan bahwa, sebagai akibat dari krisis politik dan kebijakan negara yang menyebarkan rasa takut, rasisme telah menjadi normal dalam masyarakat Israel, sebagaimana tercermin dalam wacana media dan politik. Suara-suara pro-perdamaian mudah terpinggirkan, dan akibatnya, masyarakat dengan cepat menjauh dari prospek perdamaian.
Dalam situasi seperti ini, di mana rasisme dan Islamofobia dinormalisasi, media, seperti yang telah kami nyatakan sebelumnya, memprovokasi masyarakat dengan menggunakan bahasa populis dan ekstremis.
Akibat dehumanisasi sistematis ini, rakyat Palestina telah direduksi menjadi sekumpulan musuh yang hanya layak untuk dimusnahkan.
Kami juga harus menunjukkan di sini bahwa wacana yang begitu umum digunakan oleh Media Barat juga, dengan cara tertentu, mendorong agresi Israel.
Misalnya, jurnalis Deutsche Welle (DW) menerima instruksi formal tentang cara menulis tentang Israel, dengan batasan untuk menghindari narasi yang menekankan agresi, diskriminasi, dan kolonialisme Israel. [8]
Bahkan penghancuran total Gedung Jalaa oleh Angkatan Udara Israel, tempat lembaga pers internasional seperti Al Jazeera (AJ) dan Associated Press (AP) berkantor, tidak menerima perhatian yang layak.
Meskipun media dapat memainkan peran penting dalam pembangunan perdamaian dan resolusi konflik, dalam hal agresi Israel, media global berperan sebagai burung unta.
Sifat kolonial dari proyek Zionis, atau, lebih tepatnya, negara Israel, saat ini - dan sayangnya selalu menjadi - subjek yang hampir tabu di banyak lingkaran media Barat.
Konsekuensinya, narasi mediator ekstremis Yahudi menampilkan semua karakteristik narasi kolonial dengan menekankan dugaan keunikan bangsa Yahudi dalam pencarian kedaulatan tanpa henti di tanah Palestina.
Secara khusus, menyangkal keberadaan orang Palestina di wilayah yang didambakan dan kemudian direbut untuk pemukiman baru Yahudi telah menjadi faktor terpenting yang membentuk media arus utama Israel menjadi seperti sekarang ini.
Literatur tentang hubungan antara demokrasi dan media sangat luas, dan berisi berbagai sudut pandang. Hampir semua orang mengakui bahwa media memiliki pengaruh yang besar pada demokrasi kita selama ia melayani kepentingan seluruh masyarakat.
Beberapa, seperti Bourdieu (1972), berpendapat bahwa pengertian “opini publik” tidak ada dalam kenyataan dan hanya melayani kepentingan elit politik. Dalam pengertian ini, apa yang terjadi di Israel sangat memprihatinkan.
Media Israel berada di bawah ancaman serius, dengan fundamentalisme Yahudi mengancam untuk mengambil alih demokrasi Israel sepenuhnya.
Oleh karena itu, sangat penting bagi mereka yang benar-benar menghargai demokrasi untuk segera mengambil tindakan dalam menanggapi ancaman yang saat ini dihadapi oleh warga Israel.
Hal lain yang perlu disebutkan di sini adalah sifat "religius" dari agenda fundamentalis Yahudi dan bagaimana hal itu dipersepsikan, atau lebih tepatnya, bagaimana hal itu tidak pernah disebutkan oleh media Barat.
Penting untuk memperhatikan masalah ini karena sifat "perang suci" sebagai dekrit dalam Yudaisme - "milhemet mitzvah" (perang berdasarkan perintah) - tidak boleh diabaikan.
Hal itu dikarenakan siapa pun yang mempelajari politik Israel dapat dengan mudah melihat bagaimana ekstremisme Yahudi telah bergeser dari tangan elit sekuler ke tangan kelompok agama ultranasionalis sejak 1960-an.
Ketika sebuah kelompok mengklaim melakukan sesuatu atas nama Islam, media Barat tidak pernah gagal melabelinya sebagai "teror Islam", "jihadisme", dll.
Akibatnya, istilah "jihad" menjadi identik dengan "terorisme" di media Barat, yang telah dengan ahli menghilangkannya dari makna dan konteks aslinya.
Kami tidak akan membahas asosiasi yang tidak adil ini dan penggambaran yang memutarbalikkan dalam artikel pendek ini karena sudah banyak dikritik.
Namun, haruskah kita mengajukan pertanyaan berikut: Bagaimana dengan terorisme fundamentalis Yahudi? Motif gagasan Zionis tentang "tanah yang dijanjikan" dan tujuan mereka untuk menghapus sepenuhnya identitas Islam dan Kristen di Kota Suci Yerusalem menunjukkan kesamaan dengan apa yang dilakukan Daesh (ISIS) terhadap Mosul, Palmyra, Nimrud, dan kota-kota lain.
Jadi, ketika ratusan ultranasionalis Yahudi yang mengejar agenda "milhemet mitzvah" mencoba memasuki tempat-tempat suci Islam atau polisi Israel menyerang jemaah di Masjid al-Aqsa, di manakah mereka yang takut dengan "monster jihad"?
Situs suci berubah menjadi medan pertempuran, dan kami tidak mendengar banyak tentangnya dari pemain-pemain terbesar di sektor media.
Jadi, dari Perang Vietnam hingga saat ini, kita semua memahami pentingnya media dalam segala jenis konflik.
Volume argumen rasis yang dikemukakan oleh perwakilan media Israel tentang Palestina, serta kebungkaman perusahaan media besar dalam menanggapi penindasan ini, sangatlah memprihatinkan.
Di sisi lain, pandangan politik Israel, yang kini didominasi oleh ekstrem kanan dan ekstremis agama, menjadi ancaman tidak hanya bagi warga Palestina, tetapi juga Israel yang tidak mendukung agenda gerakan ekstremis Yahudi, sayap kanan, dan ultranasionalis.
Di era "pasca-kebenaran" ini, ada tren gerakan alt-right (sayap kanan alternatif) yang berkembang hampir di segala penjuru di dunia.
Tapi dalam kasus ini, ironisnya, mereka yang berencana menghancurkan kehidupan warga Palestina untuk selamanya adalah diri mereka sendiri yang pernah menjadi korban genosida.
[1] https://www.jpost.com/arab-israeli-conflict/jews-dancing-while-fire-on-temple-mount-burns-lights-up-social-media-667844
[2] https://twitter.com/davidsheen/status/1391813776228421642
[3] https://twitter.com/davidsheen/status/1391861828859404288
[4] https://twitter.com/davidsheen/status/1394249356618895367
[5] https://twitter.com/davidsheen/status/1393979705397743622
[6] https://twitter.com/RazShechnik/status/1394261814561722372
[7] https://www.youtube.com/watch?v=lFoxL3sOAio
[8] https://twitter.com/ASE/status/1393906165529169920
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.