Analisis, Nasional, Regional

OPINI - Krisis HAM di Burma, ujian sejarah para pemimpin ASEAN

Kedatangan Jenderal Min Aung Hlaing adalah ujian sejarah bagi para pemimpin ASEAN, sejauh mana negara-negara ini menghormati hukum-hukum hak asasi manusia internasional

Usman Hamid  | 23.04.2021 - Update : 28.04.2021
OPINI - Krisis HAM di Burma, ujian sejarah para pemimpin ASEAN Para demonstran menggelar aksi dengan bersepeda menuju Kedutaan Besar Myanmar di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Indonesia pada 18 April 2021. Aksi bertema "Gowes for Democracy #Save Myanmar" mengutuk kudeta ilegal yang dilakukan oleh militer Myanmar (Tatmadaw) atas kekerasan terhadap rakyat Myanmar. ( Eko Siswono Toyudho - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

Penulis adalah Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Pendiri Public Virtue Research Institute

JAKARTA

Pada saat dunia sibuk menghadapi pandemi Covid-19, tentara Myanmar -- atau yang dikenal sebagai Tatmadaw -- menggulingkan pemerintahan sipil dan menjungkirbalikkan hasil pemilihan umum. Itu terjadi dengan mengorbankan nyawa orang-orang yang memprotes dan melawan kudeta militer, atau mereka yang dianggap melawan dominasi Tatmadaw.

Di antara para korban, adalah anak-anak. Anak-anak yang mungkin tidak mengerti tentang kekacauan politik yang sedang berlangsung. Cerita yang diambil pun tidak sepenuhnya terjelaskan atau terekam baik mengingat batasan fisik selama pandemi.

Namun, berbagai sumber menunjukkan lebih dari 48 anak menjadi korban. Sumber paling banyak dikutip adalah data Save The Children (STC) yang menunjukkan peningkatan jumlah orang di bawah usia 18 tahun terbunuh oleh angkatan bersenjata. Dari perkiraan 521 orang tewas, persentase korban anak-anak mendekati 10 persen.

Jika seseorang diminta menceritakan motif yang mendasari di balik pembantaian tersebut, maka bisa dikatakan tidak ada satu pola pun yang dengan mudah dapat menjelaskannya. Subjek yang sebenarnya menjadi sasaran, dalam kisah Khin Myo Chit, adalah anggota keluarga lainnya yang dituduh melakukan perlawanan (BBC News, 1 April 2021).

Tentara menyerbu ke dalam rumah, dan menembak Khin Myo chit ketika mencoba mendekati ayahnya. Seorang anak lain, ditembak saat berada di halaman keluarga, tanpa alasan yang jelas.

Kisah-kisah ini hanyalah sebagian kecil gambaran situasi terkini di Burma, dan mencermati keadaan yang tampaknya belum ada tanda-tanda membaik, saya sangat menyambut inisiatif ASEAN untuk menggelar KTT Darurat ASEAN guna membahas situasi terkini di sana.

Inisiatif undangan Brunei Darussalam sebagai ketua ASEAN jelas memiliki arti penting dalam meminta perhatian para pemimpin negara-negara Asia Tenggara tersebut untuk mengambil langkah konkret terkait situasi terakhir di sana.

Dari berbagai komentar pengamat, ASEAN memang satu-satunya pihak yang dapat menjadi perantara yang jujur ​​dalam krisis karena Tatmadaw secara relatif bersedia menerima inisiatif blok regional. Negara-negara barat lainnya, termasuk AS, juga mendukung ASEAN dalam hal ini.

Meskipun demikian, sebagian negara ASEAN tampaknya terlihat realistis dan pragmatis. Bagi kebanyakan pendapat mereka, kita tidak perlu terlalu berharap pada KTT ASEAN dan jangan berharap ASEAN menjadi apa yang bukan ASEAN. “Kita tidak bisa mengharapkan seekor ikan untuk terbang atau memanjat pohon,” kata seorang diplomat senior.

Bagi mereka, solusi paling prospektif yang bisa kita harapkan saat ini adalah mewujudkan proses perdamaian, dan bukan penerapan sanksi internasional berupa embargo senjata atau sanksi finansial yang terarah ke perorangan elite militer yang bertanggungjawab atas kudeta dan pelanggaran HAM yang mengikuti proses itu.

Meskipun menolak tuntutan-tuntutan ini—sebagaimana disampaikan kalangan gerakan hak asasi manusia seperti Amnesty International—mereka juga tampak sadar bahwa jika berharap agar Tatmadaw memberikan kekuasaan kembali secara sukarela kepada rakyat Burma, adalah hal yang tidak akan terjadi.

Antara pesimisme dan optimisme

Adalah hal yang masuk akal jika negara-negara ASEAN memprioritaskan bahwa keamanan maupun keselamatan masyarakat di sana harus menjadi prioritas utama yang harus dijamin oleh Tatmadaw.

Namun pandangan yang menyarankan kita tidak perlu terlalu berharap adalah pandangan yang terlalu skeptis jika melihat situasi terkini di Burma yang telah memperlihatkan bahwa sebenarnya ada kemungkinan bahwa Tatmadaw tidak bisa lagi mengontrol situasi kekerasan di lapangan atau tidak dapat lagi mempertahankan cengkeramannya pada situasi domestik.

Dengan kata lain, situasi di lapangan mulai tidak terkendali. Komando tinggi tidak lagi memiliki kendali atas tentaranya. Banyak warga yang mengungsi ke hutan atau melintasi perbatasan. PBB sendiri sangat terhalangi dalam membuat solusi untuk krisis kemanusiaan yang diakibatkan.

Pada sisi lain, Tatmadaw tidak mungkin menyerahkan kekuasaan kepada warga sipil. Dengan situasi yang tak terkontrol seperti ini, apakah mungkin dialog akan tercapai?

Pentingnya dialog dan HAM

Hal yang menarik adalah dikabarkan bahwa pimpinan junta Panglima Komando Jenderal Min Aung Hlaing akan menghadiri konferensi itu. Sang jenderal dikabarkan tidak akan menghadiri KTT secara virtual sebagaimana yang diberitakan sebagian media. Jenderal paling berpengaruh ini akan benar-benar berangkat ke Jakarta.

Pertanyaan kebanyakan orang kepada Brunei, Indonesia, dan wakil-wakil negara ASEAN lain adalah jawaban apa yang kita harapkan dari pimpinan Tatmadaw itu ketika ASEAN sebelumnya menuntut diakhirinya kekerasan? Dalam kondisi apa Tatmadaw bisa menjamin bahwa kekerasan di sana akan berakhir? Dan apa yang perlu dilakukan Indonesia jika sang jenderal benar-benar hadir secara fisik ke Jakarta?

Yang pasti, kabar ini mengindikasikan bahwa wakil negara-negara ASEAN tampaknya ingin mencoba mengajak pimpinan junta untuk bersikap terbuka, berdialog, menghentikan kekerasan yang sedang berlangsung terhadap warga sipil, dan menyelesaikan krisis hak asasi manusia maupun kemanusiaan di sana.

Mereka tampaknya berpikir bahwa sasaran hanya dapat dicapai dengan menjaga adanya partisipasi dan keterlibatan dengan semua pihak. Jika kita memihak, ASEAN tidak akan pernah bisa berperan sebagai broker yang diterima semua pihak.

Inilah yang tengah diupayakan Indonesia. Terlebih karena beberapa kementerian luar negeri negara ASEAN termasuk Indonesia telah melakukan komunikasi dengan perwakilan CRPH Myanmar dan NUG, termasuk dengan Dr. Sa Sa (Menteri Kerjasama Internasional NUG). Jika pada akhirnya KTT darurat para pemimpin ASEAN akan berlangsung dalam ruang pertemuan fisik, maka pertemuan ini bisa berjalan lebih efektif.

Penulis sebagai aktivis hak asasi manusia dan non-partisan, tidak mengambil posisi tertentu dalam perkembangan ini, dan tidak mendukung atau menentang partisipasi NUG. Bagi saya, yang paling penting adalah KTT darurat ini harus didedikasikan untuk melindungi hak asasi manusia di Burma dan mencegah bencana yang kian parah yang melanda negara dan ancaman yang ditimbulkannya.

Meskipun demikian, jelas bahwa dialog antara Tatmadaw dan pemerintahan yang baru terbentuk (National Unity Government--NUG/CRPH) tidak akan terjadi jika kekerasan terhadap warga dan anak-anak khususnya kelompok oposisi terus berlanjut di sana.

Jadi, tentu semua pihak berharap bahwa yang lebih realistis untuk dicapai memang mengakhiri kekerasan terlebih dahulu dan pada saat yang bersamaan mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan, dan yang terakhir adalah dialog.

Tapi tetap ada baiknya untuk memperjelas konsep dialog yang ditawarkan oleh sebagian diplomat ASEAN. Berkaca dari pengalaman era pemerintahan Abdurrahman Wahid, pemerintah Indonesia tampaknya akan menawarkan kesepakatan penghentian permusuhan (cessation of hostilities) dan dialog sebagai solusi yang tak terpisahkan guna menciptakan dialog dan mengakhiri kekerasan. Tantangannya sekarang adalah bagaimana mewujudkan rencana dialog ini.

Menurut hemat saya, sangat penting bagi ASEAN untuk bekerja ekstra dalam menyelesaikan krisis politik yang berimplikasi pada krisis hak asasi manusia dan kemanusiaan di Burma. Mereka tak boleh pesimis hanya karena ASEAN memiliki budaya yang kuat untuk saling tidak mengintervensi (prinsip non-interferensi), dan mengaburkan batas antara intervensi humaniter yang boleh (permissible) dan intervensi integritas teritorial yang tidak boleh (impermissible) di bawah hukum internasional. Cara berdalih dengan prinsip ini harus ditinggalkan jauh-jauh.

Dulu, kita tidak pernah bisa membayangkan bahwa ASEAN bisa memiliki piagam ASEAN, AICHR, atau AIPR. Tapi sekarang, ASEAN menegaskan prinsip-prinsip penting seperti demokrasi, pemerintahan konstitusional, penegakan aturan hukum dan penghormatan kebebasan mendasar.

Jadi hari ini, saat menghadapi KTT darurat ASEAN, para pemimpin negara-negara Asia Tenggara harus berpikir ekstra melampaui apa yang tidak mungkin di dalam sejarah ASEAN. Ikan memang tidak bisa terbang. Tapi jangan lupa bahwa ada ikan jenis torani (exocoetidae) yang ada di samudera Atlantik, Pasifik, dan Hindia. Ikan ini, meskipun tak bisa terbang seperti pesawat, ia tetap bisa terbang tinggi di atas permukaan laut dengan kecepatan 50 km per jam.

Indonesia harus menemukan cara untuk mengarahkan AICHR untuk mengembangkan pendekatan bersama untuk memastikan bahwa semua keterlibatan dengan Myanmar menangani masalah hak asasi manusia jelas sejalan dengan prinsip-prinsip dalam Piagam ASEAN. Pendekatan ini harus diadopsi untuk dialog, termasuk menjajaki kemungkinan menjadikan Indonesia sebagai pihak ketiga atau pelibatan pihak ketiga yang bukan dari ASEAN.

Lebih jauh, Indonesia perlu menjajaki implikasi hukum dari kedatangan jenderal Min Aun Hlaing ke Jakarta. Indonesia sebagai negara pihak Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, berkewajiban hukum untuk menuntut atau mengekstradisi tersangka pelaku di wilayahnya dan mereka tidak boleh mengundang dan menawarkan kekebalan kepada orang-orang yang diduga bertanggung jawab pidana atas penyiksaan.

Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya harus menggunakan yurisdiksi universal untuk memulai penyelidikan atas tuduhan yang kredibel terhadap Min Aung Hlaing. Ini adalah yurisdiksi yang memungkinkan sebuah negara untuk menerapkan yurisdiksi hukumnya atas kejahatan di bawah hukum internasional tanpa harus digantungkan pada lokasi peristiwa kejahatan itu dan latar belakang asal usul kebangsaan orang yang bertanggungjawab.

Ke depan, ASEAN harus mampu melepas kursi nyamannya di bawah dalih prinsip non-interferensi untuk mulai menopang norma dan bangunan rezim hukum internasional yang diciptakan untuk mencegah dan menangani kejahatan-kejahatan sangat serius di bawah hukum internasional. Misalnya, dengan merujuk situasi di Myanmar ke Pengadilan Kriminal Internasional. Dengan cara itu, mungkin ASEAN akan terbebaskan dari mentalitas blok yang menghambat pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di kawasan.


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın