Jakarta Raya
Maung Zami*
LONDON
Sejumlah foto Peraih Nobel Perdamaian dan Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi yang berjabat tangan sambil tersenyum dengan Viktor Orban, Presiden Hongaria, dari Budapest, membuat saya ngeri.
Kengerian itu untuk teman-teman Muslim di kampung halaman di Mandalay khususnya dan Muslim Myanmar pada umumnya, termasuk Rohingya yang dianiaya secara sistematis.
Keduanya dilaporkan saling berbagi kebencian terhadap Muslim dan migran.
Di Myanmar, militer sukses menciptakan bingkai buruk soal orang-orang Rohingya di negara itu sebagai migran ilegal Bengali dari seberang perbatasan di Bangladesh. Su Kyi, ikon transisi demokrasi Myanmar menjadi ruang gema para pembunuh.
Dalam 30 tahun aktivisme dan beasiswa politik saya tentang negara, saya belajar membaca dengan baik bagaimana rasialisme yang mengakar dalam masyarakat Burma, Ordo Buddhis dan ultra-nasionalis Tatmadaw atau militer dipolitisasi. Dan selama bertahun-tahun saya mendukung perempuan pujaan mayoritas Buddhis di negara itu, dengan kasih sayang yang tiada habisnya, Bunda Suu, dan dengan cermat mempelajari kata-kata, perbuatan, dan bahkan ekspresi wajahnya selama tiga dekade terakhir.
Saya dapat mengatakan bahwa foto-foto dari Budapest itu tak hanya soal kinerja penasihat negara Myanmar sesuai protokol diplomatik untuk bersikap sopan kepada tuan rumah dan tampak ramah di depan kamera. Itu lebih tampak seperti pertemuan dua rasis, pikiran xenophobia, yang biasanya acuh tak acuh terhadap peringatan sejarah Fasis dari dua negara masing-masing selama Perang Dunia II, atau fakta-fakta buruk di lapangan termasuk kebijakan Islamofobia negara-negara tersebut.
Dalam laporan komisioner Dewan Hak Asasi Manusia Eropa, pemerintahan Orban dituduh menyebarkan "sikap xenofobia, ketakutan dan kebencian" sementara Orban sendiri muncul sebagai tokoh penting di antara para pemimpin dan demagog kanan-jauh Eropa dan Amerika Utara, dari bekas tangan kanan Trump, Steve Bannon kepada mantan pemimpin Partai Kemerdekaan Inggris, Nigel Farage.
Dalam kasus Myanmar, Misi Pencari Fakta Internasional Independen PBB secara resmi menuduh kepemimpinan sipilnya terlibat dalam genosida yang sedang berlangsung terhadap Muslim Rohingya.
Menurut pernyataan pemerintah Orban, setelah pertemuan itu, Suu Kyi dan Orban "menyoroti" "migrasi" dan "isu koeksistensi populasi Muslim yang terus tumbuh" sebagai dua "tantangan terbesar" untuk "Asia Tenggara dan Eropa" .
Ini bukan pertama kalinya penasihat negara Myanmar berbagi pandangan dengan pemimpin sayap kanan dan menggaungkan pandangan rasis secara terbuka tentang Muslim.
Pada September 2017, Suu Kyi berbagi podium pers dengan Perdana Menteri India Narendra Modi, fundamentalis Hindu, yang keduanya secara terbuka salah menilai penganiayaan massal Myanmar atas Rohingya sebagai respons sah negara terhadap "teror", yaitu "teror Muslim". Dalam pernyataannya: "Saya ingin berterima kasih kepada India karena telah mengambil sikap kuat terhadap ancaman teror yang dihadapi Myanmar baru-baru ini."
Saya mengamati bagaimana pemimpin Burma—yang saya dukung secara aktif selama 15 tahun pertama saya dalam aktivisme internasional terkait diaspora di Amerika Serikat—terus menggeser pembenarannya atas rasisme anti-Muslim yang telah membentuk opini publik Myanmar, kebijakan pemerintah—dan pandangannya sendiri.
Pada awal Oktober 2013, di kapal domestik Inggris BBC Four, Suu Kyi membingkai pandangannya sendiri tentang Muslim sebagai persepsi umum Burma.
Suu Kyi, yang saat itu masih menjadi pemimpin oposisi negara, mengatakan dalam wawancara dengan pembawa acara Mishal Husain, seorang Muslim Inggris: "Saya pikir Anda akan menerima bahwa ada persepsi kekuatan Muslim global sangat besar. Tentu saja, ini persepsi di banyak bagian dunia—dan juga di negara kita.”
Enam tahun sejak wawancara mengejutkan itu, Suu Kyi Myanmar, yang kini menjadi penasihat negara dan menteri luar negeri, keluar kedoknya tentang Islamophobia, membuat masalah dengan salah satu pemimpin nasional kanan bersertifikat Eropa.
Keprihatinannya akan meningkatnya imigrasi dan masalah populasi Muslim yang terus tumbuh di negara asalnya di Myanmar tak didukung oleh fakta.
Pada 2012, saat itu dia menjabat Menteri Imigrasi dan mantan kepala polisi Brigjen. Khin Yi memperkirakan secara konservatif bahwa populasi Rohingya sekitar 1,33 juta, setelah dua serangan kekerasan terorganisir terhadap Muslim di negara bagian Rakhine. Begitu pula, mantan bosnya, Jenderal dan Presiden Thein Sein juga mengatakan kepada Voice of America Layanan Bahasa Burma pada Juli di tahun yang sama, “kami menemukan bahwa sebagian besar 'Bengali' [referensi rasis resmi untuk Rohingya] lahir di negara kami setelah kemerdekaan. ”Fakta-fakta ini menjadikan mustahil untuk membingkai Rohingya sebagai“ imigran” dari negara tetangga Bangladesh.
Meluasnya kemiskinan yang melanda Myanmar—bertentangan dengan statistik PDB yang menyesatkan dan prakiraan ekonomi yang sedikit positif— dan beberapa dekade represi politik oleh pasukan keamanan negara, kekecewaan dan migrasi keluar Myanmar terus berlanjut.
Hari ini diperkirakan 4-5 juta orang Burma dari semua latar belakang etnis dan agama, yaitu, dengan rasio 1 banding 10 orang, meninggalkan negara itu sebagai buruh migran, sebagian besar menuju negara-negara berpenghasilan menengah di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia dan, untuk tingkat lebih rendah, Singapura.
Setelah Suriah, Myanmar adalah penghasil pengungsi terbesar di dunia, yang sebagian besar adalah Muslim.
Selain itu, populasi Muslim Myanmar di mana Rohingya secara angka merupakan kelompok terbesar—dari total 16 kelompok—tidak bertambah. Justru sebaliknya.
Tujuh tahun kemudian, hanya ada sekitar 0,33 juta Rohingya yang tersisa di negara asal mereka—dengan 120.000 di kamp-kamp pengungsi.
Menurut misi pencarian fakta PBB, Myanmar membumihanguskan sekitar 400 desa Rohingya dalam "operasi pembersihan keamanan" militer Burma pada 2017 dan membantai ribuan Muslim termasuk bayi, anak-anak, perempuan, laki-laki dan orang tua. Jumlah korban sebenarnya mungkin tidak pernah diketahui, tetapi jumlah orang Rohingya yang dibantai tentu jauh lebih besar daripada orang-orang Bosnia yang dibantai di Srebrenica pada Juli 1995, yang secara hukum dinyatakan sebagai tindakan genosida.
Tak ada pertumbuhan populasi Muslim terbesar Myanmar di tanah leluhur mereka sendiri, Rakhine. Sebaliknya, gelombang kronis deportasi massal dengan kekerasan berupa pemerkosaan dan pembantaian genosidal dan penghancuran dan pembakaran desa-desa Muslim sejak 1978 telah mengurangi separuh kantong Muslim terbesar di negara itu—etnis Rohingya—di Myanmar Barat.
Populasi Muslim Rohingya yang tersisa di Kota Buthidaung berada dalam kondisi seperti apartheid, dilanda ketakutan yang meluas dan terus menerus akan dibantai dalam putaran kekejaman massal berikutnya yang diarahkan oleh negara Myanmar—seperti yang dunia saksikan lewat Facebook dan Twitter pada 2017—atau terbunuh Tentara Arakan (Buddha) dan pasukan pemerintah Myanmar.
Berdasarkan pengalaman profesional menjalankan banyak sesi soal sensitivitas rasisme dan kesadaran kelompok-kelompok pembuat opini Myanmar termasuk biarawati, biarawan, jurnalis dan aktivis hak asasi, saya telah belajar satu hal keji: fakta tak menusuk rasisme atau mengubah pikiran rasis. Tak terkecuali Suu Kyi.
Orang biasanya mendengar penjelasan yang lemah bahwa Suu Kyi tak memiliki kendali atas militer Burma, oleh karena itu dia mempelajari keheningan tentang kesalahan yang terakhir.
Kejahatannya tak lagi terbatas pada penolakannya untuk mengutuk "pasukan ayahnya", atau "kejahatan kelalaian" sebagaimana dalam laporan 444 halaman misi pencari fakta PBB (dirilis pada 18 September 2018). Juga bukan hanya penolakannya yang berulang-ulang terhadap "pembersihan etnis" Myanmar seperti yang dinyatakannya dalam BBC dan Channel News Asia.
Faktanya, penasihat negara Myanmar membuktikan diri sebagai kaki tangan kejahatan rasial yang dilakukan oleh angkatan bersenjata yang didirikan ayahnya di bawah perlindungan fasis Jepang.
Sejarah dunia modern sejak masa pembunuhan massal Hitler penuh dengan rezim populis yang berkuasa lewat kotak suara, memobilisasi rasisme pemilih mayoritas dengan mengorbankan minoritas agama, etnis, dan ras. Transisi Myanmar di bawah kepemimpinan Suu Kyi saat ini bukan menuju masyarakat yang inklusif dan demokratis, atau demokrasi liberal; melainkan mengarah ke sistem politik nasionalis Buddhis yang ekslusif di mana Muslim dan etnis minoritas lainnya tak diberikan hak atau perlindungan negara.
Mengingat perkembangan ini, Amerika Serikat dan Uni Eropa harus secara serius meninjau kebijakan mereka yang seolah-olah mendukung "transisi rapuh" dengan Suu Kyi sebagai satu-satunya bidan yang mampu dan populer untuk demokrasi Burma. Sang Nyonya, atau "Ratu Demokrasi" Barat—sebagaimana Pelapor Khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar Yanghee Lee sampaikan kepada Channel Four News Inggris pada 2018—secara aktif terlibat dalam artikulasi, pembenaran dan penyebaran pandangan dunia berbisa yang memenuhi syarat sebagai "paling kanan", alih-alih mempromosikan dan membela kebebasan sipil, kebebasan pers, hak asasi manusia dan perlindungan minoritas semua orang serta komunitas agama di Myanmar.
Suu Kyi adalah Marine Le Pen Myanmar, bukan hanya politisi pragmatis yang mencoba menangani tuntutan, prioritas dan harapan yang ditempatkan pada kepemimpinannya dalam transisi yang rapuh. Semakin cepat dunia sepakat dengan metamorfosis Suu Kyi, semakin baik bagi para aktivis Burma yang terlibat dalam upaya membangun masyarakat yang anti-rasis, inklusif, dan demokratis.
*)Penulis adalah Koordinator Koalisi Pembebasan Rohingya. Dia juga menulis Essays on Myanmar Genocide bersama Natalie Brinham
*)Tulisan bersifat pendapat pribadi dan tak mencerminkan kebijakan editorial Anadolu Agency.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.