Sekolah lewat radio komunitas, menembus keterbatasan akses internet di tengah pandemi
Radio Komunitas PPK Sragi, Pekalongan memfasilitasi para guru menyampaikan materi pelajaran lewat siaran radio untuk mengatasi terbatasnya akses internet di lingkungan para siswa sekolah
Jakarta Raya
JAKARTA
Di hadapan mikrofon dan alat perekam suara, Ucik Kursih mengajar siswa-siswanya yang mendengarkan lewat siaran radio dari rumah mereka di Kecamatan Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah.
Rutinitas ini telah dijalani oleh Ucik dan beberapa guru SDN 01 Tegalontar selama dua bulan terakhir, setelah pemerintah menerapkan kebijakan pembelajaran jarak jauh untuk menghindari penyebaran penyakit Covid-19.
Setiap pukul 10 pagi, ruang siaran milik Radio Komunitas PPK Sragi menjadi panggung mengajar mereka.
“Halo anak-anak, bagaimana kabarnya? Semoga tetap semangat belajar di rumah ya,” kata Ucik menirukan sapaan saat siaran ketika dihubungi Anadolu Agency, Rabu.
Ucik tidak pernah menjadi penyiar sebelumnya, namun kini mikrofon dan alat perekam suara menjadi amunisi utama untuk mengajar.
“Awalnya sangat grogi, tidak tahu apa yang harus kami katakan. Apalagi tidak melihat muridnya di depan mata,” kata Ucik.
“Tetapi setelah beberapa kali mencoba, pakai naskah yang disiapkan sama pengelola radio, ternyata malah ketagihan,” tutur Ucik.
Program yang dinamai Kejar Rakom (Kelas Mengajar Radio Komunitas) ini tayang setiap pukul 10.00 WIB, dan siaran ulangnya diputar pada pukul 16.00 WIB.
Masing-masing guru memiliki waktu 30 menit untuk menyampaikan materi, dengan gaya penyampaian layaknya penyiar radio.
“Awalnya kami khawatir apakah murid-murid akan mendengarkan, tapi lama-lama malah mereka yang enggak mau ketinggalan. Setiap jam 10 sudah standby di dekat radio,” tutur dia.
Terkadang mereka juga memutarkan rekaman suara dari para siswa agar proses belajar lebih interaktif. Namun tidak semua materi pelajaran mudah disampaikan melalui siaran radio.
“Matematika itu sulit, karena biasanya kalau di kelas pakai coret-coretan tapi sekarang saya berusaha menjelaskan lewat suara,” kata dia.
Kejar Rakom muncul berawal dari keterbatasan akses siswa SDN 01 Tegalontar mengakses internet untuk sistem belajar jarak jauh.
Dari 289 siswa SDN 01 Tegalontar, hanya 50 persen atau 144 siswa yang memiliki ponsel.
Namun, tidak semua yang memiliki ponsel lantas mampu membeli kuota internet.
Hal itu menyebabkan sebagian siswa tidak dapat terlibat secara aktif dalam proses belajar jarak jauh yang sebelumnya mereka lakukan melalui grup di aplikasi pengiriman pesan, Whatsapp.
Setelah dua bulan berjalan, Ucik menuturkan metode ini ternyata lebih bisa menjangkau para siswa.
Mereka yang tidak memiliki radio bisa bergabung dengan teman-temannya membentuk kelompok kecil yang terdiri dari lima orang siswa.
“Protokol kesehatannya tetap dijalani, mereka pakai masker, jaga jarak. Mereka juga suka kirim foto untuk memberi tahu kalau sudah siap di depan radio,” tutur Ucik.
Pengelola Radio Komunitas PPK Sragi, Sunarto mengatakan keterbatasan ini memunculkan ide memanfaatkan radio komunitas sebagai sarana belajar.
Apalagi, materi yang disampaikan lewat radio komunitas dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa setempat.
Menurut Sunarto, metode ini memang membutuhkan waktu dan persiapan untuk membiasakan para guru dengan metode siaran.
“Saya bilang ke mereka kalau belajar lewat radio itu sangat beda dengan setiap hari bertemu murid di kelas. Kalau di radio harus berimajinasi,” kata Sunarto kepada Anadolu Agency.
“Kalau awal-awal masih kagok ya dimaklumi. Yang penting dicoba, kami dari Radio Komunitas beri trik cara bersiaran. Kami siapkan script-nya mulai dari opening sampai closing,” tukas dia.
Sunarto menuturkan cara belajar lewat radio ini ternyata mendapatkan respons baik dari orang tua siswa.
Dia berharap cara serupa juga bisa diterapkan oleh radio komunitas lain di Indonesia, terutama di daerah yang memiliki keterbatasan akses internet untuk sekolah jarak jauh.
“Kalau menggunakan radio komunitas, kontennya juga bisa disesuaikan dengan kebutuhan di wilayah masing-masing,” kata dia.
“Kami juga sangat terbuka kalau ada pihak lain yang ingin mengetahui teknisnya seperti apa, boleh hubungi kami,” lanjut Sunarto.
Sekolah daring bagai sebuah kemewahan
Tidak meratanya akses internet untuk sekolah juga dirasakan oleh siswa-siswi di SMPN 1 Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatra Barat.
Bagi mereka, memiliki gawai dengan akses internet yang memadai adalah sebuah kemewahan di saat pemerintah menerapkan kebijakan belajar dari rumah akibat pandemi Covid-19.
Salah satu guru di SMPN 1 Palupuh, Widiriyani mengatakan hanya 60 persen siswanya yang memiliki ponsel sekelas Android untuk mengakses sekolah daring, sedangkan sisanya tidak memiliki akses sama sekali.
Proses belajar daring itu pun terbatas pada komunikasi melalui grup di aplikasi pengiriman pesan, Whatsapp.
Mereka tidak mampu mengadakan pertemuan virtual melalui Zoom, Google Meet, atau fitur sejenis seperti yang dilakukan oleh sekolah-sekolah dengan fasilitas lebih memadai.
“Dari yang punya handphone Android pun, belum tentu semuanya bisa online dengan lancar,” kata Widiriyani kepada Anadolu Agency.
“Ada yang tidak mampu memenuhi kebutuhan paket data bulanan, ada yang sinyal di rumahnya tidak bagus, ada juga yang satu handphone dipakai sekeluarga dan waktu siang dibawa orang tua bekerja,” lanjut dia.
Sebagian besar siswa di SMPN 1 Palupuh merupakan anak-anak petani dengan penghasilan harian dari kelas ekonomi menengah ke bawah.
Sekolah memberikan subsidi pembelian paket data melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp20 ribu per bulan. Namun menurut Widiriyani, jumlah itu juga tidak mencukupi kebutuhan belajar mereka.
Belum lagi lokasi rumah siswa yang berada di kawasan perbukitan sehingga tidak terjangkau oleh sinyal internet.
Ini juga menyulitkan guru dalam memantau proses belajar siswa dari jauh.
Situasi ini membuat para guru kemudian memutuskan mendatangi murid secara berkala untuk memberi tugas sekolah sekaligus berkomunikasi.
“Tugas untuk mereka dikasih untuk satu minggu, terus minggu depannya guru akan datang lagi untuk ambil tugas dan mengantarkan tugas sekolah yang baru,” tutur dia.
Widiriyani mengatakan baru itu satu-satunya solusi yang mereka dapatkan agar hak anak untuk tetap belajar terpenuhi meski tidak mungkin seefektif belajar tatap muka di sekolah.
“Kami berusaha memaklumi kondisi daerah dan kondisi siswa, jadi kami juga tidak mau menyulitkan mereka tapi di sisi lain mereka tetap harus belajar,” tutur dia.
Butuh kurikulum darurat
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listiyarti mengatakan kebijakan pembelajaran jarak jauh yang ada saat ini belum cukup menjawab berbagai persoalan yang dihadapi siswa.
Kisah-kisah terkait sulitnya akses internet, tidak adanya gawai, hingga kesulitan membeli kuota internet masih terjadi di berbagai daerah.
Menurut Retno, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semestinya memiliki kurikulum darurat yang fleksibel dan dapat mengakomodasi keterbatasan yang ada untuk menjamin hak pendidikan anak tetap terpenuhi.
Pembelajaran jarak jauh yang berlangsung saat ini terkesan sangat berpatok pada metode dalam jejaring dengan tugas-tugas yang dianggap terlalu merepotkan.
Retno menuturkan sistem pembelajaran jarak jauh semestinya tidak melulu berpatokan seutuhnya pada sistem dalam jejaring.
“Benahi dulu kurikulumnya, segera disederhanakan. Kalau hanya memberikan solusi kuota internet, belum tentu semua anak punya gadget-nya,” kata Retno kepada Anadolu Agency.
“Misalnya beri tugas per minggu, guru bertemu muridnya satu kali seminggu saja. Tugas antara satu mata pelajaran kalau temanya masih berkaitan kan bisa dirangkum menjadi satu tugas saja,” jelas dia.
Di sisi lain, opsi yang direncanakan pemerintah untuk membuka sekolah di zona hijau dan zona kuning Covid-19 juga dianggap terlalu berisiko.
KPAI menolak opsi tersebut dan menganggapnya sebagai bentuk “keputusasaan” pemerintah terhadap penerapan program belajar jarak jauh.
Dia mencontohkan kasus di Pariaman, Sumatra Barat, sekolah harus ditutup kembali setelah seorang guru dinyatakan positif terinfeksi Covid-19. Padahal ketika sekolah dibuka, Pariaman termasuk ke dalam kategori zona hijau penularan.
“Membuka sekolah itu bisa memicu munculnya kasus-kasus baru di kalangan anak-anak, dan contoh kasusnya sudah terjadi di beberapa tempat,” ujar Retno.
Sosiolog Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Nanang Martono mengatakan kapasitas guru harus ditingkatkan untuk bisa menjalankan pembelajaran baik secara dalam jaringan internet maupun di luar jaringan.
Menurut dia ada kemungkinan juga membuka pembelajaran offline secara terbatas atau bergiliran sehingga tetap menerapkan protokol kesehatan dengan menjaga jarak.
Alternatif berikutnya guru bisa mendatangi murid untuk memberikan materi pelajaran.
Menurut Nanang, guru juga harus mempunyai bahan ajar, seperti modul dengan sistem belajar kejar paket.
“Sistem pembelajaran online ini memang ada beberapa kelemahan. Sistem ini membuat pendidikan tentang nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan lain-lain tidak bisa dilakukan,” ujar dia
Selain itu, tingkat pemahaman murid tentu lebih rendah dibanding belajar langsung bertatap muka dengan guru.