Budaya

Asad Shahab: Jembatan berita dari Indonesia ke Timur Tengah

Dari Beirut, Asad menuliskan kritikan pedas kepada sikap Soekarno yang intim dengan komunis. Alih-alih marah, sang presiden justru mengirim takzim

Shenny Fierdha  | 19.08.2017 - Update : 21.08.2017
Asad Shahab: Jembatan berita dari Indonesia ke Timur Tengah Asad Shahab sedang berbincang dengan Jendral A. H. Nasution (Foto repro buku Sang Penyebar Berita Proklamasi: Perjuangan M. Asad Shahab & Arabian Press Board)

Jakarta

Shenny Fierdha

JAKARTA

Nama Muhammad Asad Shahab mungkin tak terlalu terdengar di telinga awam bila membicarakan soal sejarah Indonesia. Bisa saja, karena Asad tak betul-betul menenteng senjata untuk membela Indonesia, ia hanya punya pena.

Sebagai kuli tinta, Asad menyiarkan kabar kemerdekaan bangsa melalui tulisan. Artikel-artikelnya yang tak hanya ditulis dalam bahasa Indonesia – dia juga lancar berbahasa Inggris dan Arab – menggaungkan bahwa Indonesia telah lepas dari penjajah hingga ke negeri Teluk dan Timur Tengah.

Namun alasan lain mengapa Asad tak banyak dibahas di buku sejarah, bisa jadi karena sang jurnalis memilih mengasingkan diri ke luar negeri setelah pisah ideologi dengan Soekarno yang belakangan cenderung kiri. Meski, dari luar sana ia tetap menulis tentang negara yang selalu ia anggap ‘rumah’ ini.

Inilah kisah Asad Shahab, yang dengan goresan penanya mampu menyediakan celah pengintip bagi negara-negara lain dalam memandang Indonesia, Republik yang saat itu masih belajar jalan.

Dari Pekojan ke Saudi

Muhammad Asad Shahab lahir di Pekojan, Jakarta, pada 23 September 1910 dari keluarga intelektual. Dari delapan bersaudara, Asad dan abangnya Dyza, lalu menjadi jurnalis. Ayah mereka, Ali Ahmad Shahab, kerap bepergian ke luar negeri dan punya banyak kontak dengan kaum intelektual dan politisi di Timur Tengah. Dengan latar belakang inilah, Asad kemudian ambil peranan penting.

Dalam esai biografi Asad Shahab yang ditulis oleh Mona Abaza dan dikompilasi dalam buku Southeast Asia and the Middle East: Islam, Movement, and the Longue Durée (2009) oleh Eric Tagliacozzo, Asad digambarkan sebagai pria yang menjembatani kedua dunia, Asia Tenggara dan Timur Tengah.

Senang menulis sejak kecil, Asad serius menekuni dunia jurnalistik saat ia beranjak dewasa. Dari tahun 1936 sampai 1938, ia bekerja sebagai redaktur majalah mingguan Tidar. Kariernya berlanjut ketika dia menjadi kontributor surat kabar berbahasa Arab, al-Mughattan, milik pemerintah Mesir.

Tak lama setelah Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Asad dan Dyza mendirikan Arabian Press Board (APB). Sengaja mereka menambahkan kata “Arabian” untuk mendapat simpati dan dukungan dari dunia Islam. Sekutu dan Belanda pun akan berpikir ulang untuk mengusik mereka, mengingat kekuatan Timur Tengah yang besar.

APB – yang rutin menerbitkan surat kabar dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab – punya peranan besar dalam menyiarkan kemerdekaan Indonesia ke dunia Timur Tengah. Namun titik balik Asad dengan APB segera terjadi. Dikutip dari buku biografi Asad berjudul Sang Penyebar Berita Proklamasi: Perjuangan M. Asad Shahab & Arabian Press Board (2017) yang ditulis oleh putranya, Abdul Mutalib Shahab, APB terpaksa gulung tikar pada 1962.

Di masa itu, Presiden Soekarno punya ide untuk meleburkan semua kantor berita yang ada di Indonesia menjadi satu, Antara. Asad mulai mencium tak adanya independensi dalam mandat Soekarno ini. Dia merasa sang presiden sudah terpengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang di tahun-tahun itu berkuasa.

Soekarno menasionalisasi APB, mengubah namanya menjadi Asian Press Board, dan “mematahkan pena” Asad. Menolak berbagi ideologi, Asad hengkang dari APB. Namun dia tak berhenti menulis. Melalui majalah mingguan Pembina, ia menentang lantang paham komunisme.

Berbalas kritik dengan Soekarno

Kondisi politik waktu itu semakin panas. Seperti yang dikatakan oleh putra Asad, Abdul, “Ada isu Bapak akan ditangkap PKI, sehingga teman-temannya menyarankan beliau keluar dari Indonesia. Berat, tapi tak ada pilihan.”

Juni 1965, Asad mengasingkan diri ke luar Republik. Dia tiba di Jerman Barat, namun Asad kemudian juga pergi ke Eropa Barat dan negara Arab seperti Aljazair dan Tunisia. Di akhir tahun 60-an, muncul tulisan Asad berjudul Sahafat min tarikh Andanusia al-mu’assira (Lembaran dari Sejarah Indonesia) yang kemungkinan ditulisnya di Arab Saudi.

Tulisan tersebut begitu membakar. Asad menyerang habis-habisan Soekarno secara pribadi: skandalnya dengan wanita dan kecurigaan sang presiden menggunakan uang negara. Asad juga mendedikasikan satu bab penuh untuk membahas peristiwa ‘65. Intinya, tulisan ini adalah kecaman keras Asad terhadap pemimpin Indonesia pasca-kolonialisme dan kebijakan-kebijakan mereka.

Buku berbahasa Arab ini sampai ke tangan Soekarno pada Maret 1970. Asad sendiri yang mengirimkannya. Dari catatan Asad di cetakan kedua judul tersebut, terkesan dirinya memiliki kedekatan pribadi dengan Soekarno. Buku itu lalu diterjemahkan secara lisan, untuk didengarkan Soekarno setiap pagi sambil menyeruput kopi.

Soekarno sangat tersinggung oleh tulisan Asad. Dia merasa kritikan Asad terlalu personal, sampai-sampai menghancurkan hatinya. Dalam biografi Asad oleh Abdul, Soekarno diceritakan membuat surat balasan untuk Asad, menjelaskan sikapnya yang dikritik poin demi poin. Namun Soekarno mengaku tetap menaruh hormat kepada Asad, karena ia berani mengkritiknya saat Soekarno masih hidup dan berkuasa, sehingga bisa membela diri.

“Karena beliau tidak mau berjalan dengan alam pemikiranku dan tidak ingin menerima tuntunanku, beliau menentang pikiran dan tindakanku. Hal inilah yang membuatku menghargainya, keuletannya dan yang paling utama jauhnya perasaan sentimen, jauh dari dengki, kata-katanya sopan, tidak ada makian, sindiran atau bermacam kalimat yang sinis seperti yang lainnya yang berjiwa pengecut dan berjiwa lemah,” tulis Soekarno. Surat balasan ini dimuat di buku Lembaran dari Sejarah Indonesia cetakan kedua, yang diterbitkan di Beirut.

Pulang ke “rumah”

“Beliau tidak pernah menonjolkan diri dari segi materi ataupun kemampuan. Dia menganggap semua orang sama, tak membedakan,” kata Abdul kepada Anadolu Agency pekan lalu.

Abdul teringat, semasa kecil dia sering menemani ayahnya menemui tokoh-tokoh penting, lokal maupun internasional. Menurut Abdul, tak sekalipun Asad membangga-banggakan diri.

Tahun 1984, saat kondisi politik Indonesia sudah mulai stabil, Asad mulai terbersit ingin pulang. Namun baru setahun kemudian Asad benar-benar menginjak rumah. Sekembalinya ke Indonesia, “Beliau lebih banyak menulis buku dan jadi narasumber,” kisah Abdul.

Sosok lain yang juga dekat dengan Asad adalah Alwi Shahab, jurnalis senior Indonesia yang masih ada hubungan keluarga dengan Asad. Asad rupanya sering bercerita kepada Alwi kecil soal perjuangan Indonesia melawan penjajahan Belanda.

“Sejak saya duduk di sekolah dasar sampai kuliah, saya dekat dengan Asad. Beliau seperti mentor saya,” kisahnya kepada Anadolu Agency di kesempatan berbeda.

Kekagumannya terhadap sosok Asad semakin besar lantaran pengetahuan Asad yang begitu luas. “Beliau seperti ensiklopedia berjalan, dia bisa menjawab banyak hal yang saya tanyakan.”

Alwi tak memungkiri, adalah kedekatannya dengan Asad dan seringnya Asad memperkenalkan dirinya kepada banyak tokoh yang memotivasi dirinya untuk mengikuti jejak Asad, terjun ke dunia jurnalistik. Alwi memulai karier jurnalistiknya di APB sebagai wartawan pada tahun 1960.

Kebanyakan orang menyangka Asad sebagai penulis saja. Tapi menurut Alwi, Asad adalah pejuang, sebab dia berjuang mati-matian menyebarkan kemerdekaan Indonesia selain juga menyerukan supaya orang ikut angkat senjata melawan Belanda.

Baginya, ketekunan Asad mencari informasi didukung dengan idealisme yang kuat membuatnya menjadi sosok yang patut diteladani, terutama oleh wartawan masa kini.

Pena Asad tak pernah berhenti menggores kertas dan menguntai kata yang mencerahkan bangsa sampai ia menghembuskan napas terakhir pada 5 Mei 2001 di usia 90 tahun.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın