Masjid tua saksi penyebaran Islam di timur Indonesia
Masjid Tua Katangka pertama kali berdiri pada 1603 Masehi

Jakarta Raya
Pizaro Gozali
JAKARTA
Di sudut Kabupaten Gowa, terdapat masjid tertua di Sulawesi Selatan yang menjadi saksi penyebaran Islam.
Masjid ini bernama Masjid Tua Katangka yang pertama kali berdiri pada 1603 Masehi.
Menurut Daeng Harun Rahman, penjaga Masjid Tua Katangka, di masjid inilah ajaran agama Islam pertama kali disebarkan di Sulawesi Selatan.
Awalnya, kata Harun, tempat ini merupakan lokasi salat ulama dari Yaman yang berlayar untuk menyebarkan Islam di Sulawesi.
“Di lokasi ini dulu banyak tumbuh pohon Katangka, mereka salat di bawah pohon tersebut,” kata Harun menjelaskan awal mula penamaan Masjid Tua Katangka kepada Anadolu Agency pada Rabu.
Namun, kata Harun, para ulama Yaman ini gagal untuk mengajak Raja Gowa untuk masuk Islam.
Menurut Harun, para ulama Yaman ini ingin Raja Gowa menerima Islam secara keseluruhan.
“Mereka tidak berhasil dan mencoba menyebarkan Islam ke wilayah lain,” ujar Harun.
Gagal menaklukkan Raja Gowa, kata Harun, para ulama Yaman ini tak menyerah.
Mereka lalu menemui para Ulama asal Minangkabau untuk diutus menyebarkan Islam kepada raja-raja di Sulawesi Selatan.
Akhirnya ada tiga ulama Minangkabau yang datang ke bumi Sulawesi untuk menjelaskan Islam kepada Raja Gowa.
Saat itu, kata Harun, pendekatan para ulama itu lebih dapat masuk kepada Raja Gowa.
“Ulama itu berprinsip yang penting Islam diterima dulu tanpa harus mengusik adat istiadat,” kata pria berumur 42 tahun ini.
Akhirnya, kata Harun, Raja Gowa ke-14 Mangarangi Daeng Manrabbia bersedia menerima Islam dan menjadikannya sebagai agama kerajaan.
Raja Gowa ke-14 juga mengganti namanya menjadi Sultan Alauddin dan membangun Masjid Katangka.
Sultan Alaudin merupakan Raja Gowa pertama yang memeluk Islam dan menyebarkannya ke Sulawesi.
“Di masjid ini para ulama Minang itu berdakwah dan Islam menyebar ke Sulawesi Selatan,” terang Harun.
Arsitektur khas
Harun mengatakan Masjid Tua Katang memiliki arsitektur yang khas karena dipengaruhi beberapa budaya, salah satunya China.
Dahulu kala, kata Harun, banyak pedagang China yang datang ke Sulawesi untuk menjual kayu.
Raja Gowa, kata Harun, lalu membeli bahan kayu ini sebagai ukiran mimbar masjid yang menyerupai klenteng.
Menariknya dalam ukiran itu tertulis kalimat berbahasa Makassar yang ditulis dalam Bahasa Arab.
Kalimat itu bertuliskan, “Mimbar itu dibuat pada Jum’at tanggal 2 Muharram tahun 1303 Hijriah … Dan apabila khatib sudah di atas mimbar, maka jemaah tidak diperkenankan lagi berbicara masalah dunia.”
Di samping kiri dan kanan mimbar, ada dua buah tombak yang masing-masing bertuliskan kalimat tauhid.
Dahulu, kata Harun, dua buah tombak ini dipegang oleh pasukan untuk menjaga khatib saat khotbah Jumat.
Benteng melawan Belanda
Berbeda dengan masjid tua lainnya, Masjid Tua Katangka memiliki tembok yang tebal.
Hal tersebut dimaksudkan sebagai benteng pertahanan melawan penjajah Belanda.
“Dinding masjid ini dibuat tebal supaya tahan peluru,” terang Harun.
Saat itu, kata Harun, Belanda datang untuk menjajah Kerajaan Gowa dan memerangi warga
Raja Gowa lalu memimpin perlawanan terhadap Belanda karena banyak hasil bumi yang dirampas.
Saat terjadi perang melawan Belanda, kata Harun, keturunan Raja Gowa dan pasukannya berlindung di lingkungan Masjid Tua setelah istana dan bentengnya dihancurkan Belanda.
Kini saksi perlawanan itu masih dapat terlihat di sekeliling masjid di mana para Raja-raja Gowa dimakamkan.
Renovasi pertahankan keaslian
Harun juga menjelaskan Masjid Tua Katangka sudah mengalami enam kali renovasi.
Pertama pada tahun 1816 Masehi, atau pada masa Sultan Abd Rauf Raja Gowa ke-30 atas nama Sultan Abd Rauf.
Lalu, kata Harun, pada 1884, yang dilakukan oleh Sultan Abd Kadir Raja Gowa ke-32.
Selanjutnya pada 1963 oleh Gubernur Sulawesi Selatan, tahun 1971 oleh Kanwil Dikbud Sulawesi Selatan, tahun 1980 oleh Swaka Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan dan terakhir tahun 2007.
“Renovasi terakhir dilakukan swadaya masyarakat,” kata dia.
Namun demikian, kata Harus, sebanyak 80 persen bangunan masjid masih asli dan sama seperti waktu pertama didirikan.
Bahkan Harun menunjukkan kepada Anadolu Agency lantai masjid yang pertama kali digunakan saat pertama kali berdiri.
“Potongan lantai ini masih kita simpan sebagai bukti sejarah,” kata dia.
Tarik minat turis
Sejumlah turis mancanegara telah datang ke masjid ini untuk melihat lebih jauh sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan.
Harun mengatakan mereka datang dari Jerman, China, Arab Saudi, Afrika Selatan, Nigeria, Prancis, China, dan Malaysia.
“Paling sering dari Malaysia,” kata Harun.
Asyraf Abubakar, warga Makassar, mengaku sangat bersyukur dengan kehadiran Masjid Tua Katangka.
Dia mengatakan masjid ini sangat penting untuk dapat memberikan edukasi kepada masyarakat Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan.
“Kalau tidak ke sini, saya tidak tahu sejarah Islam di Sulawesi Selatan,” terang dia.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.