Budaya

Melacak jejak bangsa lewat manuskrip kuno di Perpustakaan Nasional

Di lantai 9 Perpustakaan Nasional ini, termaktub manuskrip kuno yang termasuk kekayaan budaya Indonesia. Sayang, pengunjungnya masih lengang

Megiza Asmail  | 03.10.2017 - Update : 01.01.2018
Melacak jejak bangsa lewat manuskrip kuno di Perpustakaan Nasional Suasana Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, 2 Oktober 2017. Di lantai 9 perpustakaan ini, tersimpan beberapa manuskrip kuno yang jadi kekayaan budaya Indonesia. (Megiza Asmail - Anadolu Agency)

Jakarta

Megiza Asmail

JAKARTA

Hening. Begitulah yang seharusnya terasa ketika masuk ke dalam sebuah perpustakaan. Di tempat itu, orang-orang berkonsentrasi dengan buku atau bacaan di hadapan mereka.

Suasana seperti itu tentu juga dapat terlihat dengan mudah saat mengunjungi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Namun, dari 27 lantai bibliotek yang baru saja diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 14 September lalu itu, ada satu lantai yang tidak hanya hening, namun juga kosong dari pengunjung.

Lantai 9 yang menawarkan layanan koleksi naskah Nusantara tak hanya terasa tenang, namun juga lengang.

Saat Anadolu Agency menyambanginya, sama sekali tak terlihat pengunjung menempati meja baca yang telah disediakan.

Deretan ruang khusus berukuran 1,5x1,5 meter tampak kosong.

Di pojok ruang hanya ada beberapa staf perpustakaan yang sibuk mendata buku-buku. Lantai yang menyimpan belasan ribu manuskrip kuno itu agaknya kurang diminati pengunjung Perpustakaan Nasional.

“Yah, ramainya memang kalau anak-anak sastra daerah atau peneliti saja yang datang,” kata Staf Bagian Manuskrip Perpustakaan Nasional RI Budi Wahyono.

Sayang memang jika pengunjung Perpustakaan Nasional melewati begitu saja lantai ini. Karena sebenarnya di lantai 9 ini, pengunjung dapat berkenalan dengan sejarah aksara di Indonesia.

Budi menyebut, manuskrip tertua yang tersimpan di tempat ini adalah naskah nipah yang berasal dari tahun 1344, yang berisi kakawin Arjunawiwaha dalam bahasa Jawa Kuna.

“Naskah ini ditulis di daun lontar dan disimpan di ruang khusus. Manuskrip ini hanya dikeluarkan jika ada pameran,” kata Budi.

Selain naskah tersebut, bersemayam juga dokumen sejarah Indonesia Negarakertagama dan Babad Diponegoro. Kedua naskah tersebut bahkan sudah masuk dalam Memory of The World UNESCO.

Diketahui, dua dokumen itu masuk dalam 54 inskripsi puluhan negara dan sah menjadi bagian Memory of The World saat sidang UNESCO yang digelar pada 18-21 Juni 2013 lalu di Korea Selatan.

UNESCO menyebut Babad Diponegoro sebagai sebuah autobiografi seorang pangeran Jawa yang juga pahlawan nasional dan pejuang Islam yang hidup semasa 1785-1855.

Sedangkan Kitab Negarakertagama yang ditulis Nagarakretagama disebut sebagai deskripsi sebuah bangsa dari tahun 1365 Masehi.

Memory of the World merupakan program UNESCO yang sudah dimulai sejak tahun 1992.

Mereka menetapkan sejumlah warisan luhur dari berbagai bangsa dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran pelestarian catatan-catatan dunia yang bersejarah yang terancam akibat perang, perdagangan ilegal dan bentuk ancaman kerusakan lainnya.

“Kalau naskah Babad Diponegoro sudah sangat lapuk, jadi tidak bisa dibuka atau ditunjukkan untuk umum,” ujar Budi.

Manuskrip tertua yang tersimpan di tempat ini adalah naskah nipah yang berasal dari tahun 1344, yang berisi kakawin Arjunawiwaha dalam bahasa Jawa Kuna. (Megiza Asmail - Anadolu Agency)

Untuk pengunjung Perpustakaan Nasional yang penasaran dengan rupa manuskrip kuno, sebenarnya Perpustakaan Nasional saat ini tengah mengeluarkan replika naskah-naskah kuno tersebut.

Di lobby depan Perpustakaan Nasional, ditampilkan 15 replika naskah dengan menggunakan aksara sekaligus media penulisan yang sama dengan aslinya.

“Tapi untuk keseluruhan, ada 11.147 eksemplar naskah kuno yang tersimpan di sini,” katanya.

Selain dapat melihat langsung manuskrip kuno dengan menyambangi Lantai 9 Perpustakaan Nasional, pengunjung sebenarnya juga dapat melihat dokumen-dokumen antik tersebut secara online.

Melalui situs resmi Perpustakaan Nasional, pengguna internet di mana pun dapat melihat ribuan manuskrip kuno yang telah dibuat dalam format digital.

“Dari 11.147 naskah, sekitar 3000-4000 di antaranya sudah didigitalkan,” jelas Budi.

Perpustakaan Nasional mencatat, perkembangan aksara Indonesia terbagi menjadi tiga gelombang. Pertama adalah era Hindu dan Budha.

Dokumen paling awal yang menjadi bukti penggunaan tulisan di Indonesia adalah prasasti Yupa di Kalimantan Timur, yang berasal dari abad ke-5.

Aksaranya sangat terkait dengan prasasti-prasasti yang berasal dari Dinasti Palawa di India.

Bahasa Sansekerta yang terdapat dalam prasasti menjadi bukti pengaruh peradaban India dan agamanya, baik Hindu maupun Buddha di wilayah Indonesia.

Kondisi itu berimplikasi juga pada adaptasi aksara India untuk menuliskan Bahasa-bahasa lokal di wilayah Indonesia.

Kemudian, bentuk aksara mengalami modifikasi, menjadi apa yang disebut Palawa akhir, yang ditemukan dalam prasasti-prasasti di Jawa dan Sumatra.​

Selanjutnya masuk Era Islam. Gelombang kedua ini disebut sebagai periode kegemilangan kerajaan Hindu dan Budha menuju senja, dan budaya modern Islam yang menawarkan pembaharuan.

Gelombang ini juga diiringi penyebaran aksara Arab, aksara yang membawa ideologi politik dan agama Islam, yang mendapatkan tempat terutama di wilayah berbahasa Melayu dan di wilayah-wilayah pesisir.

Sementara wilayah-wilayah masyarakat yang berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Makassar, Rencong, Batak mempertahankan jenis tulisannya yang terdahulu.

Terakhir, perkembangan aksara adalah ketika masuk era Eropa. Penggunaan aksara Latin terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia, seiring kedatangan Eropa sejak abad ke-16.

Para kaum misionaris memegang peran penting dalam proses latinisasi di Indonesia, bahkan sejak abad ke-17, mereka menggunakan aksara Latin untuk menerjemahkan Alkitab.

Perkembangan luar biasa aksara Latin terjadi seiring mulai merebaknya mesin cetak, terutama pada abad ke-19 menggantikan tradisi salin menyalin naskah, yang telah berlangsung sejak lama.

Di lantai ke-8 Perpustakaan Nasional yang menyimpan surat kabar ataupun majalah lama yang terbit puluhan tahun silam. (Megiza Asmail - Anadolu Agency)

Selain lantai Naskah Nusantara, Lantai 8 Perpustakaan Nasional yang menyimpan surat kabar ataupun majalah lama sebenarnya juga layak dihampiri.

Hanya saja, belum banyak pengunjung yang menjejakkan kaki di lantai ini.

Padahal, di sini pengunjung dapat menelusuri sejarah bangsa lewat catatan-catatan wartawan yang dimuat dalam koran-koran yang terbit puluhan tahun silam.

Tertua, lantai ini menyimpan koran terbitan tahun 1810 yakni Javache Courant.

Sarmiati Saragih, staf Bidang Layanan Audio Visual mengatakan kebanyakan tamu lantainya adalah mahasiswa-mahasiswa dari bidang sejarah yang ingin mengetahui pemberitaan pada era-era tertentu.

“Misal, mereka cari berita tentang pabrik gula di Kediri. Mereka akan cari tahu melalui pemberitaan di koran-koran lama. Ada juga anak-anak dari jurusan iklan yang ingin tahu perkembangan iklan dari masa ke masa,” kata Sarmiati.

Lebih jelas, dia menyebut, Perpustakaan Nasional menyimpan sekitar 5400 rol microfilm yang berisi koran-koran berbahasa Jawa, Indonesia, Belanda dan juga Prancis.

Microfilm tersebut nantinya dapat dibaca dengan menggunakan micro reader.

Terlihat dari daftar dokumen di meja pelayanan informasi di Lantai 8, microfilm yang disediakan bukan hanya berasal dari koran-koran yang diterbitkan di Jakarta. Namun koran terbitan Ujung Pandang, Tegal, Surabaya, Cirebon, Bandung, Semarang dan Surakarta yang usianya sudah ratusan tahun juga tersedia di sini. 

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın