Budaya

Pohon Pinang: Dicari jelang Agustusan, sejarahnya tak menyenangkan

Satu batang pohon pinang bisa dihargai hingga Rp 500 ribu. Tapi riwayat di balik lomba panjat pinang tak seluhur yang dibayangkan.

01.08.2017 - Update : 02.08.2017
Pohon Pinang: Dicari jelang Agustusan, sejarahnya tak menyenangkan Pedagang Pohon Pinang di Manggarai, Jakarta Selatan, mulai sibuk menghaluskan batang-batang pinang yang akan digunakan dalam perlombaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia 17 Agustus mendatang, Selasa, 1 Agustus 2017. Pohon Pinang banyak didapatkan dari kawasan Sukabumi, Jawa Barat. Per batang, pedagang menawarkan dengan kisaran harga Rp 500 ribu.​ (Megiza Asmail - Anadolu Agency)

Regional

Megiza Asmail

JAKARTA

Masuk bulan Agustus, pemandangan gelondongan batang pohon pinang yang menumpuk di sisi-sisi Jalan Manggarai Utara dan Jalan Manggarai Selatan, Jakarta, sudah biasa terlihat. Kawasan ini sudah puluhan tahun dikenal sebagai pusat penjualan batang pohon ini.

Batang-batang pohon sepanjang 9 meter itu teronggok, menunggu giliran untuk diserut dan dihaluskan. Dengan ukuran sepanjang itu, menyerut pohon pinang bukan perkara mudah. Supaya kulit pohon benar-benar halus licin, butuh waktu dua hingga tiga jam. 

Menjelang Hari Raya Kemerdekaan Indonesia, permintaan pohon pinang pasti meningkat. Agustusan – begitu perayaan deklarasi kemerdekaan itu disebut – dirayakan dengan berbagai lomba oleh masyarakat. Permainan panjat pinang salah satunya.

Lomba panjat pinang sendiri dikatakan sebagai bentuk pertunjukkan tradisi gotong royong. Pesertanya berkelompok, dan setiap kelompok punya misi sama: mengambil hadiah paling menarik yang diikat di ujung pinang tertinggi.  

Tidak hanya saat dimainkan, proses pembuatan batang pohon pinang untuk dijual pun juga dilakukan dengan bergotong-royong. Seperti yang dilakukan oleh Arifin, 56, penjual batang pinang di Jalan Manggarai Selatan. 

Pria yang meneruskan usaha keluarganya tiap-tiap menjelang bulan Kemerdekaan Indonesia ini, mengaku mengajak lima hingga enam keluarganya untuk menyulap pohon pinang menjadi batang yang halus dan licin. 

“Satu hari buat menghaluskan pohon pinang butuh tiga sampai empat orang bergantian. Dengan jumlah itu, dalam sehari kita bisa selesaikan sepuluh batang pinang,” ujar pria yang mengaku sudah belajar menyerut batang pinang sejak usia 12 tahun ini. 

Arifin mengatakan, dia memasok batang-batang pinang tersebut lewat tengkulak dari Sukabumi, Jawa Barat. Puluhan tahun menjual batang pinang, dia menyebut pinang dari Sukabumi sebagai yang terbaik. Kuat dan tidak mudah kempes atau layu meski berhari-hari terkena hujan. 

Bicara soal biaya yang dia keluarkan untuk memasok batang pohon pinang, Arifin menyebut harga batang pinang yang dibeli keluarganya pada awal tahun 1970-an hanya berkisar Rp 17.500 per batang. “Sekarang, sudah Rp 200 ribu satu batang,” katanya.

Dengan harga mentah tersebut, Arifin menyebut, dirinya harus membayar upah tukang menyerut sebesar Rp 60 ribu per batang. Artinya, jika satu hari ada sepuluh batang yang diselesaikan oleh si tukang, maka dia harus merogoh Rp 600 ribu untuk membayar keringat mereka.

Dengan biaya tersebut, Arifin mengaku menjual satu batang pinang kepada pelanggannya dengan harga yang cukup variatif. “Saya nawarin satu batang pinang mulai dari Rp 500 ribu, tapi tidak termasuk ongkos kirim, ya,” ujarnya.

Dia menjelaskan, jika si pembeli ingin batang pinang diantarkan sampai rumah, maka harga yang ditawarkan bisa naik hingga Rp 700 ribu. “Itu harga untuk satu pinang, lengkap dengan bambu untuk menggantung hadiah-hadiahnya,” kata Arifin. 

Meski batang pinang banyak diburu jelang pesta kemerdekaan, ternyata penjualan tidak lantas turun setelah 17 Agustus berakhir. Kata Arifin, cukup banyak orang yang masih mencari pohon pinang walau 17-an sudah berlalu. 

“Batang-batang ini masuk sejak 27 Juli lalu. Tapi jualnya enggak cuma sampai 17-an. Soalnya, masih banyak warga-warga yang gelar lomba sampai akhir bulan Agustus,” kata Arifin.

Ditanya tentang keuntungan yang didapatkan dari bisnis pohon pinang ini, Arifin enggan mengungkapnya. Menurutnya, faktor ongkos kirim yang berbeda-beda membuat dia pemasukan pun tidak dapat dirata-rata. 

“Paling jauh saya pernah kirim ke Bekasi. Kalau sudah sejauh itu, satu pinang bisa sampai Rp 1,2 juta. Tahun kemarin saya jual sampai 40 batang. Mudah-mudahan tahun ini bisa jual lebih banyak lagi,” harapnya. 

Panjat Pinang, permainan untuk menyenangkan penjajah

Lomba panjat pinang yang memperebutkan hadiah-hadiah yang digantungkan di pucuk pohon memang selalu berhasil menghibur warga yang menyaksikan. Bagaimana tidak, sekelompok pria berjumlah delapan hingga sepuluh orang harus bekerja sama demi mendapatkan hadiah-hadiah itu.

Pundak mereka harus siap bergantian menahan beban teman satu tim. Bayangkan saja, jika satu orang memiliki bobot tubuh mencapai 60 kilogram dan untuk mencapai puncak pohon membutuhkan enam orang yang memanjat, maka pemain yang berada di paling bawah harus menahan beban lebih dari 300 kilogram.

Sudah begitu, batang pinang yang sudah diserut sampai halus itu juga diolesi oli atau gemuk sebagai bahan pelicin. Alhasil, para pemanjat pun berkali-kali merosot kepleset. Jika yang melorot adalah pemanjat di urutan teratas, dia bakal jatuh menimpa teman-teman satu timnya, mengundang gelak tawa yang menonton.

Meski terdengar sangat berat, untuk sebagian masyarakat, lomba panjat pinang menjadi salah satu wujud gotong royong yang dianggap sebagai nilai luhur yang harus ditanamkan di hati semua warga negara Indonesia. Namun, bagi sejarawan Asep Kambali, tradisi permainan panjat pinang mempunyai latar sejarah yang tidak menyenangkan, pun membanggakan. 

Dalam tulisannya yang dipublikasikan di situs Komunitas Historia, Asep menjelaskan bahwa sejarah panjat pinang tidaklah dimulai dengan tujuan yang menarik. Berdasarkan riset yang dilakukannya, dia menemukan bahwa panjat pinang telah ada di Indonesia sejak zaman Belanda. 

Beberapa foto yang menjadi koleksi Museum Tropen, Belanda, menunjukkan bahwa permainan panjat pinang sudah ada sejak tahun 1917-an hingga kurun waktu 1930-an. Asep menyebut, permainan panjat pinang kala itu menjadi hiburan bagi penduduk Hindia Belanda. 

Orang-orang pribumi yang menjadi peserta, berebut untuk dapat mencapai puncak pohon. Mereka terjatuh, tubuh mereka bermandikan minyak yang dilumuri di batang pohon. Tergantung-gantung di atas pohon, kemeja dan celana dijadikan hadiah. 

Dalam dokumentasi yang ditemukannya, terlihat bahwa hal itu menjadi pertunjukkan yang lucu bagi penduduk Hindia Belanda, utamanya kaum elit Eropa. Asep menyebut, orang Eropa merasa lomba ini sangat lucu karena mereka melihat orang pribumi rela berebutan untuk barang-barang yang tidak berarti di mata mereka.

“Hampir setiap tahun kita melihat permainan panjat pinang, tanpa mengetahui latar belakang atau sejarah adanya panjat pinang tersebut. Panjat pinang sudah melekat dalam alam bawah sadar kita, menjadi paradigma yang kuat, sehingga kita menganggap panjat pinang sebagai permainan yang berlandaskan asas gotong royong atau kerja sama yang melambangkan ciri luhur dari masyarakat Indonesia,” kata Asep.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın