Dunia

Ayah cari keadilan tiga anak perempuannya yang dibunuh pasukan Israel

Tiga anak perempuan terbunuh akibat tembakan tank Israel yang menghantam rumah warga sipil di kamp Jabalia di Gaza pada 2008

Abdel Ra'ouf Arnout  | 17.11.2021 - Update : 22.11.2021
Ayah cari keadilan tiga anak perempuannya yang dibunuh pasukan Israel Ilustrasi (Foto file - Anadolu Agency)

YERUSALEM 

Tiga belas tahun telah berlalu sejak Ezz El-Din Abu El-Aish warga Palestina yang kehilangan ketiga putrinya akibat serangan tank Israel yang menghantam rumah mereka di daerah kamp Jabalia, utara Kota Gaza.

Anggota keluarga lain yang tinggal di rumah yang sama juga terluka oleh tembakan tentara Israel selama serangan tiga minggu di Jalur Gaza yang dimulai pada 27 Desember 2008.

Serangan gencar Israel, yang dikenal sebagai Operation Cast Lead, menyebabkan pembantaian sekitar 1.400 warga Palestina dan ribuan lainnya terluka.

Ayah yang berduka telah menggugat pihak berwenang Israel atas kematian ketiga putrinya; Bisan, Mayar, dan Aya, yang masing-masing berusia 21, 15, dan 13 tahun.

Abu El-Eish yang berprofesi sebagai dokter menuntut Israel membuat permintaan maaf secara resmi dan bertanggung jawab penuh atas pembunuhan tersebut.

Dia juga menuntut agar negara yang memproklamirkan diri sebagai negara Yahudi itu memberinya kompensasi finansial yang ingin dia gunakan untuk mendanai sebuah perguruan tinggi untuk menghormati putrinya.

Pada Senin, Mahkamah Agung Israel memeriksa gugatan perdata yang diajukan oleh ayah Palestina itu, tetapi pengadilan belum mengeluarkan putusan.

Abu El-Eish telah pindah ke Kanada bersama anggota keluarga lainnya yang masih hidup.

Memilukan hati

Abu El-Eish melakukan perjalanan ke Israel untuk menghadiri proses pengadilan pada Senin di Mahkamah Agung, badan peradilan tertinggi Israel.

"Ini ruangan setelah tragedi itu," kata Abu El-Eish, yang menunjukkan foto rumahnya yang dihancurkan, kepada wartawan sambil memperlihatkan kamar tempat putrinya tewas. "Secara pribadi, saya tidak ingin ada yang mengalami apa yang Saya alami," tutur dia.

“Selama serangan Israel, putri saya belajar (malam hari) menggunakan lilin karena tidak ada listrik,” kenang Abu El-Eish.

“Mereka punya cita-cita. Tujuan mereka adalah untuk berhasil, belajar, dan menjadi pembawa pesan kemanusiaan. Ini adalah anak-anak yang saya ajar dan besarkan," tutur dia.

Ayah yang berduka mengatakan putrinya adalah korban. Dia bersumpah untuk "membuat mereka tetap hidup" dan tidak membiarkan orang lain "membunuh mereka lagi" dengan memastikan bahwa mereka mendapatkan keadilan.

Sidang tersebut dihadiri oleh sejumlah aktivis perdamaian dan wakil Arab, termasuk Ayman Odeh, Ahmed Al-Tibi, dan Osama Al-Saadi.

Dalam sebuah posting di Twitter, Al-Tibi menyebut posting-an Abu El-Eish tentang putrinya "memilukan".

Sementara itu, Odeh mengatakan bahwa Abu El-Eish “tidak berusaha membalas dendam” tetapi Israel “seharusnya mengambil tanggung jawab atas pembunuhan itu.”

"Tidak ada yang lebih manusiawi dan lebih menyakitkan daripada seorang ayah yang berduka yang mencari keadilan untuk putrinya," ujar dia.

Mencari keadilan

Pada Maret 2017, Pengadilan Pusat Israel di kota selatan Beersheba meninjau kasus tersebut tetapi menolaknya.

Akibatnya, Abu El-Eish memutuskan untuk mengajukan petisi ke Mahkamah Agung. Tetapi pengadilan telah menunda sidangnya karena pandemi Covid-19.

Abu El-Eish mengatakan dia memutuskan untuk mencari keadilan bagi putrinya melalui semua “cara beradab, damai, legal dan moral” yang tersedia.

"Sayangnya, dan menyakitkan, tanggapannya selalu berujung penolakan, penghindaran, dan alasan palsu. Ini telah menambah rasa sakit dan penderitaan yang saya dan keluarga saya alami dan membunuh putri-putri saya berulang kali," jelas dia.

Tetapi ayah yang teguh itu masih tetap berharap bahwa hakim Israel akan melakukan “sesuatu yang bermoral, apa yang benar, dan apa yang legal juga.”

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.