Dunia

Duta Besar: Sudan Selatan tak lagi dalam keadaan perang

Dengan bantuan pemimpin baru Ethiopia, pihak yang terlibat perang saudara Sudan Selatan sepakat mengakhiri permusuhan, kata diplomat

Rhany Chairunissa Rufinaldo  | 10.08.2018 - Update : 11.08.2018
Duta Besar: Sudan Selatan tak lagi dalam keadaan perang Ilustrasi. (Foto file – Anadolu Agency)

Addis Abeba

Addis Getachew

ADDIS ABABA, Etiopia

Sudan Selatan tidak lagi dalam keadaan berperang, menurut James Pitia Morgan, duta besar Sudan Selatan untuk Etiopia.

Dalam konferensi pers pada hari Jumat, Morgan mengatakan perjanjian yang ditandatangani Minggu lalu di Khartoum, Sudan, menyelesaikan semua masalah sulit tentang pembagian kekuasaan, pemerintahan, dan masalah pengaturan keamanan secara inklusif.

"Perang telah berakhir," katanya, dan keputusan amnesti baru oleh pemerintah memungkinkan pemberontak untuk kembali ke Juba, Ibu Kota Sudan Selatan.

Sudan Selatan tergelincir ke dalam kekacauan pada 2013 ketika Presiden Salva Kiir menuduh mantan wakilnya Riek Machar melakukan kudeta, tuduhan yang dibantah Machar.

Perang melanda seluruh negeri, memicu gelombang kekerasan baru yang memicu krisis pengungsi terbesar di Afrika dan menelantarkan 4 juta orang, termasuk 2 juta pengungsi yang mencari perlindungan di negara-negara tetangga.

Menurut Morgan, perjanjian Khartoum memberikan periode pra-transisi delapan bulan, di mana para pejuang pemberontak akan tetap berada di kamp-kamp di tengah proses mengintegrasi berbagai pasukan menjadi satu kekuatan pertahanan Sudan Selatan, dan periode transisi 30 bulan setelahnya di mana pemilihan umum akan diadakan.

Morgan mengatakan: "Apa yang telah kami capai di Khartoum dapat dikreditkan kepada pemimpin baru Etiopia, Perdana Menteri Abiy Ahmed, yang mendelegasikan Presiden Sudan Omar Al-Bashir untuk melanjutkan pertemuan tatap muka antara Presiden Sudan Selatan Salva Kiir dan pemimpin pemberontak Riek Machar. "

Peringatan dan perlindungan

Ahmed, yang saat ini memimpin blok keamanan dan perdagangan delapan negara Afrika, IGAD, bertemu Kiir dan Machar di kantornya di Addis Ababa pada bulan Juni, di mana dua rival ini terlihat berangkulan dan berjabat tangan.

Dia segera mendelegasikan Presiden Sudan Al Bashir untuk melanjutkan upayanya membawa mereka pada kesepakatan, dengan peringatan keras bahwa negara-negara kawasan akan campur tangan jika pihak yang bertikai gagal untuk menyetujui dan menepati janji.

Sebelum Ahmed datang ke tempat kejadian, kata Morgan, “Seluruh wilayah IGAD tidak beroperasi secara independen. IGAD adalah organisasi yang dijalankan oleh orang asing, dijalankan oleh Troika dari Inggris, AS dan Norwegia," katanya.

Banyak orang, bagaimanapun, tetap skeptis dengan perjanjian baru ini, seperti pada bulan Desember 2017 di mana pihak yang bertikai melanggar penghentian perjanjian permusuhan tiga jam setelah penandatanganan.

Kali ini, pemimpin pemberontak Machar tidak akan diizinkan pergi ke Juba bersama dengan pasukannya, kata duta besar, menyalahkannya atas pelanggaran perjanjian Addis Ababa 2015.


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın