Kelompok sayap kanan Swedia naik daun atas aksi pembakaran Al-Qur’an
Muslim lokal dan para politisi mengungkapkan kampanye anti-Muslim di Swedia 'direncanakan, dan tidak menyenangkan' yang dapat memicu kerusuhan

STOCKHOLM
Swedia, negara yang dianggap sebagai tempat yang aman bagi para pengungsi, mendapat kecaman luas setelah kerusuhan meletus pekan lalu, di mana politisi anti-Muslim Denmark-Swedia, Rasmus Paludan, mengumumkan akan melakukan serangkaian aksi pembakaran Al-Qur’an selama bulan suci Ramadan.
Lebih dari 40 orang telah ditangkap dan beberapa terluka ketika pengunjuk rasa turun ke jalan menentang keputusan otoritas Swedia yang mengizinkan rencana kelompok sayap kanan untuk membakar salinan kitab suci umat Islam.
Azra Muranovic, wakil ketua Dewan Kota Vernamo dan politisi Partai Sosial Demokrat, mengatakan pembakaran Al-Qur’an adalah kampanye yang direncanakan.
"Saya pikir pembakaran Al-Qur'an bukanlah suatu kebetulan. Melainkan, kampanye terencana dan tidak menyenangkan untuk memprovokasi kerusuhan dengan menggunakan kebebasan berbicara. Saya sangat menyesal dia berhasil melakukan itu."
Sekarang tampaknya toleransi dan kebebasan berbicara Swedia sedang diuji karena pembakaran Al-Qur'an telah mendorong batas kebebasan berbicara di negara itu.
Muranovic percaya kebebasan berbicara dalam kasus insiden pembakaran Al-Qur'an mungkin menjadi masalah.
"Saya pikir pertanyaannya rumit karena kebebasan berbicara memberi Anda kebebasan untuk menyatakan pikiran Anda terlepas dari betapa tidak menyenangkannya itu.
"Setelah pembakaran Al-Qur'an dan kekerasan yang terjadi selanjutnya, polisi mengajukan pertanyaan lagi ke pengadilan: 'Apakah masalah khusus ini ujaran kebencian atau kebebasan berbicara?'" tambah dia, mencatat bahwa mereka melihat insiden itu sebagai "ujaran kebencian".
'Menggunakan kebebasan berbicara untuk bakar Al-Qur'an'
Rashid Musa, mantan ketua Organisasi Pemuda Muslim Swedia, berpikir konteks sejarah dari peristiwa terbaru juga perlu diperhitungkan.
"Otoritas Swedia menggunakan kebebasan berbicara sebagai argumen untuk mengizinkan dia (Paludan) membakar Al-Qur'an, tetapi kita harus memahami dan juga memasukkan ini ke dalam konteks sejarah," kata Musa, yang juga dikenal sebagai pendebat publik Muslim.
"Pada 1920-an Jerman, sebelum holocaust, rezim Nazi biasa membakar literatur Yahudi dan buku-buku Yahudi untuk memperkuat politik mereka.”
"Kita tidak perlu pergi sejauh itu ke dalam sejarah karena kita dapat melihat Bosnia pada pertengahan 1990-an, di mana fasis Serbia biasa membakar literatur Bosnia dan mengebom perpustakaan," sebut dia.
Menurut Musa, pembakaran Al-Qur'an merupakan bagian dari upaya dehumanisasi kelompok minoritas, dalam hal ini Muslim Swedia.
Pada Agustus 1992, di ibu kota Bosnia, Sarajevo, hampir dua juta buku dibakar.
Manuskrip era Ottoman yang rapih dan brosur rapuh berusia 500 tahun berubah menjadi abu ketika Perpustakaan Nasional Bosnia dan Herzegovina dijarah dan dibakar oleh pasukan Serbia.
- Ekstremisme sayap kanan Swedia bertambah selama lebih dari 15 tahun
Partai Demokrat Swedia yang populis sayap kanan, yang pernah dilarang secara politik karena hubungannya dengan neo-Nazi, sekarang menjadi partai terbesar ketiga di Riksdag, parlemen Swedia.
Partai tersebut telah berhasil menarik banyak pemilih dengan mendorong narasi anti-Muslim dan anti-imigrasinya.
,Musa mengatakan ekstremisme sayap kanan telah meningkat di Swedia selama 15 tahun terakhir dan bahkan lebih dengan melakukan pembakaran Al-Qur’an terbaru ke dalam konteks politik.
Paludan telah mengadakan acara untuk membakar kitab suci umat Islam selama dua tahun, kata Musa, menambahkan bahwa ini "bukan hal baru."
“Ini hanya akibat dari rasisme anti-Muslim yang sudah ada di masyarakat,” ujar dia.
Kejahatan kebencian lainnya yang dilakukan di Swedia termasuk terhadap wanita Muslim yang mengenakan jilbab, serta terhadap masjid.
Partai Demokrat Swedia tidak percaya bahwa masalah kejahatan atau integrasi terutama disebabkan oleh kegagalan kebijakan sosial ekonomi atau birokrasi pemerintah.
Sebaliknya, mereka menyalahkan budaya, baik imigran Muslim maupun kebenaran politik.
- Media 'Alternatif'
Seringkali, partai sayap kiri juga dipantau oleh sayap kanan di Swedia.
"Tujuan utama mereka adalah untuk membuktikan bahwa kita semua tidak dapat hidup bersama dalam masyarakat yang sejahtera. Ketika mereka tidak dapat membawa kita ke politik," kata Muranovic.
Mereka juga "lebih keras terhadap politisi sayap kiri perempuan dan mereka menggali sampah untuk mendiskreditkan Anda sebagai pribadi," tambahnya.
Jaringan sayap kanan "media alternatif" mendorong narasi anti-Muslim, di mana ia menyalahkan masalah negara pada Muslim, terlepas dari apakah klaim itu benar atau salah.
Seringkali, ketika dihadapkan dengan kekhawatiran rasisme, mereka mengklaim bahwa mereka hanyalah orang normal, kelas pekerja yang mencoba menjelaskan masalah ekonomi dan budaya.
Pengungsi non-Barat dan mayoritas Muslim menyebabkan masalah ini yang menurut mereka tidak ditangani oleh partai politik tradisional.
- Pemerintah bergeser ke kanan?
Sementara beberapa orang mengklaim bahwa partai Sosial Demokrat Swedia yang berkuasa telah bergeser sedikit ke kanan, namun Muranovic tidak setuju.
“Saya kira partai sama sekali tidak bergeser ke kanan. Namun pemerintahan Stefan Lofvens dipimpin bersama Partai Hijau, dan melalui kerja sama anggaran dengan dua partai liberal yang tentunya kemudian memerlukan negosiasi untuk dapat maju secara politik.
Sejak Magdalen menjadi perdana menteri dan Partai Hijau meninggalkan pemerintahan, "lebih mudah untuk mengedepankan politik kita."
Psikolog klinis Swedia, Stefan Hellsten, berpikir bahwa perubahan ini mungkin dipicu oleh imigrasi yang tidak dikelola dengan baik.
"Sepertinya ada pergeseran ke kanan dalam kubu sosial demokrat Swedia karena tantangan tertentu. Misalnya, imigrasi (sudah) cukup tinggi selama beberapa tahun sekarang dan belum ditangani secara rasional, dan sekarang kami kewalahan," katanya. berdebat.
Bagaimanapun, pembakaran Al-Qur'an telah melukai perasaan umat Islam yang tinggal di negara yang mereka sebut rumah.
Mahmoud Khalfi, imam dan direktur di Masjid Pusat Stockholm mengatakan bahwa pada bulan Desember, dia secara pribadi menyaksikan pembakaran Al-Qur'an di Skarholmen.
"Saya ingat betapa menyakitkannya itu," tutur dia, seraya menambahkan bahwa banyak Muslim telah "menelepon dan memberi tahu kami betapa menyakitkan dan provokatifnya aksi membakar Al-Qur'an."
"Al-Qur'an itu suci dalam Islam. Itu adalah firman Tuhan. Membakar Al-Qur'an menjadi sangat menyakitkan bagi kami umat Islam," jelas dia.
Swedia dikenal dengan narasi nasionalnya tentang "Swedia Exceptionalism" dan kebijakannya yang ramah terhadap pengungsi dan menyediakan suaka.
Ketika negara-negara Eropa lainnya memperketat perbatasan mereka pada 1990-an dan 2000-an, Swedia malah membuka diri.
Namun, banyak hal berubah dengan krisis pengungsi pada 2015, menandai berakhirnya sikap tangan terbuka ini.