Siapa Jamal Khashoggi dan mengapa dia dibunuh?
Meskipun dilihat sebagai tokoh oposisi, Khashoggi tidak pernah menganggap dirinya seperti itu, kata sosiolog sekaligus penasihat partai berkuasa Turki
Ankara
Metin Mutanoglu
ANKARA
Beberapa pekan telah berlalu sejak Jamal Khashoggi, kolumnis Washington Post yang memasuki Konsulat Saudi di Istanbul pada 2 Oktober tetapi tidak pernah terlihat lagi.
Muncul spekulasi bahwa dia dibunuh oleh sekelompok warga Saudi yang kemudian diakui oleh pihak kerajaan Arab Saudi bahwa bahwa spekulasi tersebut benar.
Tapi kenapa dia dibunuh?
Menurut Yasin Aktay, sosiolog dan penasihat Partai Keadilan dan Pembangunan (AK) yang berkuasa di Turki sekaligus teman Khashoggi, sang jurnalis dibunuh karena Riyadh memandangnya sebagai seseorang yang memiliki potensi untuk mengatur oposisi.
Meskipun anggapan ini ditujukan kepadanya, dia tidak pernah menganggap dirinya seperti itu.
"Dari mana kecurigaan tentang Khashoggi ini berasal?" tanya Aktay.
"Saya pikir kecurigaan ini berkembang dari paranoia, kekuasaan, ketakutan pemerintah, dan sedikit kecemasan,"
Khashoggi berasal dari keluarga yang mapan.
Kakeknya, Muhammed Halit Kasikci, berasal dari Turki, menjadikannya satu dari ribuan warga Saudi keturunan Turki.
Dia tinggal di Washington, D.C. selama satu setengah tahun terakhir dan menulis kolom untuk Washington Post.
Dia telah merencanakan untuk secara resmi menikahi Hatice Cengiz, tunangannya yang menunggunya di luar konsulat Saudi pada hari dia terbunuh.
Alasannya mengunjungi konsulat adalah untuk mendapatkan dokumen resmi yang membuktikan bahwa dia telah menceraikan mantan istrinya, yang diperlukan untuk pernikahan resmi.
Selain itu, dia juga sering mengunjungi Istanbul untuk menghadiri pertemuan dengan para ahli dan pakar untuk membahas solusi bagi keterpurukan yang diderita dunia Islam.
"Istanbul adalah pusat penting komunitas Islam dan dunia. Sebagian besar pertemuan di dunia Islam diadakan di Istanbul sekarang," kata Aktay.
“Dia biasanya diundang ke pertemuan ini hampir setiap bulan. Dan pada pertemuan-pertemuan yang dihadiri orang-orang penting ini, dia adalah salah satu yang pertama muncul di benak saya."
‘Turki sebagai role model’
Harapan Khashoggi tumbuh mengikuti angin demokrasi dan kebebasan yang bangkit sejak Arab Spring 2011.
Dia menulis artikel dan menyampaikan pidato tentang era baru yang akan datang di Mesir, Libya, dan Yaman.
Baginya, dunia Islam hanya bisa mengatasi masalah melalui demokrasi.
Terobosan demokratis dan perkembangan ekonomi yang dia lihat di Turki menggugahnya dan mengatakan bahwa Turki bisa berfungsi sebagai teladan bagi dunia Islam.
Mengenai pandangan Khashoggi, Aktay mengatakan "dia akan menyatakan bahwa Turki, terutama karena keberhasilannya dalam pembangunan dan demokratisasi, menyajikan model yang baik untuk dunia Arab dan dunia Arab akan dipengaruhi oleh ini dan membuat kemajuan cepat atau lambat."
"Tentu saja, dia sadar akan fakta bahwa tidak ada contoh yang dapat sepenuhnya ditransfer ke mana pun, tetapi inspirasi dan pengaruh dari Turki ini akan bergema di sana. Misalnya, selama Arab Spring, dia benar-benar melihat bahwa analogi itu muncul."
Tapi harapan Khashoggi tersendat di negara-negara di mana pemerintah Arab Saudi terlibat.
"Selama periode Arab Spring, dia mengambil sikap menentang negaranya sendiri. Ide-ide oposisi ini tidak mengubahnya menjadi seorang pria yang bisa dibungkam, sungguh," kata Aktay.
“Dia kecewa dengan kontribusi negatif yang dibuat negaranya untuk Arab Spring. Dia dilihat sebagai jurnalis oposisi, tetapi ini adalah gelar yang baru diberikan kepadanya selama satu setengah tahun terakhir. Sebelum itu, dia memiliki hubungan yang cukup baik dengan pemerintah Saudi."
“Dia tidak mencari alternatif. Maksud saya, dia tidak menginginkan dinasti atau raja baru. Dia menginginkan negaranya menjadi kerajaan yang lebih demokratis dan diatur dengan lebih baik seperti Inggris. Itu sebabnya dia memiliki harapan besar terhadap kebijakan reformasi yang dideklarasikan oleh Raja Salman bin Abdulaziz setelah kematian Raja Abdullah pada 2015. Dia membuat banyak pernyataan yang baik," tambah dia.
'Kepercayaan' terhadap Arab Saudi
Menggarisbawahi bahwa Khashoggi memiliki kepercayaan besar terhadap negaranya, Aktay mengatakan "dia percaya bahwa saudara setanah airnya tidak akan melakukan kekejaman seperti itu terhadapnya, dia juga mempercayai Turki. Dia terlalu yakin bahwa insiden semacam itu tidak akan terjadi di Turki."
Menurut Aktay, Khashoggi tahu bahwa tidak akan ada penculikan semacam itu di Turki, yang merupakan negara hukum dan di mana kekuatan dan kemampuas polisi benar-benar baik.
Tentu saja, tempat itu adalah konsulat, di mana dia memasukinya dengan rasa percaya diri seperti seorang manusia biasa.
Namun kepercayaan diri ini mencelakakannya.
Aktay menambahkan, "Ini adalah insiden yang mengerikan. Apa ini berarti seseorang tidak dapat mempercayai konsulat? Setiap orang di luar negeri harus pergi ke konsulat negara mereka pada titik tertentu. Jika konsulat berubah menjadi tempat di mana orang dengan mudah melakukan pembunuhan dan menutupinya, maka orang akan kehilangan kepercayaan mereka."
“Dunia modern dikenal karena hubungan kepercayaannya yang canggih, bukan? Tentu saja, negaranya tidak menuduhnya melakukan kejahatan. Jika penentangannya adalah kejahatan, maka hal itu telah ada selama berabad-abad. Memang benar bahwa dia kadang-kadang menentang negaranya saat Arab Spring, tetapi tidak ada yang bertanya kepadanya, 'Mengapa Anda di menentang?'"
Aktay mengatakan bahwa Khashoggi keberatan terhadap sejumlah penangkapan, intervensi di Yaman - yang awalnya dia dukung - yang mengarah kepada pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
"Menurutnya, kehadiran Saudi di Yaman justru memperdalam konflik, bukannya memecahkannya. Sekarang kita semua berbagi pandangan yang sama," tambah dia.