Harimau Sumatra, terancam punah karena manusia serakah
Populasi harimau Sumatra kian mengenaskan seiring pembukaan lahan dan perburuan satwa
Jakarta Raya
Hayati Nupus
JAKARTA
Seekor Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) betina ditemukan dalam kondisi tewas dengan mengenaskan, di lereng perbuktian di perbatasan Desa Muara Lembu dan Pangkalan Indarung, Kunatan Singingi, Riau. Sehelai kawat melilit perut buncitnya dengan kencang.
Informasi soal adanya harimau yang terjerat kawat warga itu diperoleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Riau pada Selasa lalu pukul 10.30 WIB. Tim patroli mobil BKSDA Provinsi Riau segera mendekat ke lokasi yang disebut warga, disusul oleh tim kesehatan dengan seperangkat peralatan medisnya.
Namun hingga malam tiba, tim evakuasi tak juga menemukan tubuh harimau itu. Mereka justru menemukan kawat bekas jeratan harimau itu berikut tiga jerat lainnya yang belum memperoleh mangsa.
“Tampak ada bekas meronta, kemungkinan harimau itu berhasil lepas dari jeratan kemudian lari,” ungkap Kepala BKSDA Riau Suharyono, kepada Anadolu Agency, Kamis.
Esoknya, tim evakuasi kembali mencari dan menemukan tubuh harimau itu di lereng perbukitan. Kawat yang menjerat tubuhnya berujung pada sebilah kayu yang tersangkut pohon.
“Sepertinya setelah lepas dari jeratan, harimau itu melompat ke lereng dan kayunya tersangkut pepohonan, dia berusaha meronta, hingga napasnya habis,” tutur Suharyono.
Ginjal pecah dan perut hamil
Hari itu juga BKSDA Riau menekropsi harimau tersebut. Hasil nekropsi yang dilakukan oleh empat dokter BKSDA Riau dan Yayasan Arsari Djojohadikusumo menyimpulkan bahwa harimau tersebut mati akibat ginjalnya yang pecah karena terjepit.
Tak hanya itu, kata Suharyono, hasil nekropsi itu juga beroleh kesimpulan mengejutkan: saat perutnya terjerat kawat warga, harimau betina berusia empat tahun itu tengah mengandung dua bayi.
Tim dokter memperkirakan ini merupakan kehamilan pertama harimau betina. Jika tidak tewas, ujar Suharyono, harimau itu akan melahirkan dalam 14 hari ke depan.
“Sangat menyedihkan, mestinya harimau ini bisa memberikan kontribusi ke alam, tapi dalam waktu bersamaan tiga ekor harimau mati sekaligus karena kebiadaban manusia,” ungkap Suharyono.
BKSDA Provinsi Riau telah berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Riau. Sejauh ini polisi sudah mengamankan seorang tersangka berinisial E, 41 tahun. E mengaku tidak memasang jerat itu untuk harimau, melainkan untuk babi, sebagai sumber makanan.
“Sejauh ini kami memperkirakan E bukan bagian dari sindikat perdagangan satwa liar di Riau, tapi kita tidak berhenti pada pengakuan itu, proses hukum terus berjalan,” ujar Suharyono.
E terancam hukuman pidana maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 juta, seperti yang tercantum dalam UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.
Selain itu, kata Suharyono, BKSDA Provinsi Riau akan menggelar operasi sapu bersih agar jerat serupa habis dan peristiwa kematian satwa liar tak lagi berulang.
Suharyono menuturkan, Riau merupakan salah satu kantung habitat harimau di Sumatra. Sepertiga harimau Sumatra ada di Riau. Mereka kini tersisa di rawa-rawa dan dataran rendah.
Populasi satwa tersebut, ujar Suharyono, terus menurun, seiring kebijakan pemerintah memfragmentasi kawasan hutan. Pembukaan lahan perkebunan secara massif mengganggu habitat harimau, juga satwa liar lain seperti gajah dan beruang.
Suharyono menekankan pentingnya upaya berbagai pihak untuk memberikan ruang hidup dan koridor perlintasan bagi satwa, agar habitat mereka terjada dan populasi tidak terancam.
Toh peristiwa tewasnya harimau bukan yang pertama. Pada 2013 lalu, seekor harimau tewas karena diburu manusia. Polisi telah menangkap pelaku dan memprosesnya secara hukum.
“Kami berharap setelah ini tidak akan ada lagi harimau tewas karena diburu manusia,” ujar Suharyono.
Perburuan satwa liar meningkat
Ekolog Satwaliar World Wide Fund (WWF) Indonesia, Sunarto, mengatakan jika dulu penyebab utama tewasnya harimau Sumatra akibat pembukaan lahan, belakangan tren itu malah berubah. Kini penyebab utama tewasnya harimau Sumatra karena keserakahan manusia memburu satwa liar ini.
“Justru jumlah perburuan makin meningkat beberapa tahun belakangan, seiring banyaknya permintaan,” ungkap Sunarto.
Jaringan pasar gelap perdagangan harimau Sumatra itu berjenjang, tutur Sunarto. Ada pengepul di sejumlah kota dan desa, juga ada donatur yang membiayai perburuan harimau di hutan-hutan.
Aksi ini tak hanya mengancam harimau sebagai target utama, melainkan juga satwa lain seperti gajah, badak dan orangutan.
WWF mencatat harimau Sumatra bersisa 400 ekor saja pada 2004. Di Riau saja, diperkirakan tersisa 192 ekor harimau pada 2007.
Hasil riset lembaga ini bersama IUCN mengungkapkan setidaknya 50 ekor harimau Sumatera diburu tiap tahunnya sepanjang 1998-2002.
WWF juga mencatat adanya penurunan populasi harimau Sumatra hingga 70 persen dalam puluhan tahun terakhir.
Belakangan, kata Sunarto, penegakan hukum perburuan satwa liar mengalami peningkatan. Namun itu belum seimbang dengan aktivitas perburuan yang juga kian massif.
Sunarto berharap kematian harimau betina yang tengah hamil ini menjadi momentum untuk membangun kesadaran publik dan melibatkan lebih banyak pihak untuk melestarikan satwa liar, khususnya yang terancam punah.
Sunarto menekankan perlunya beberapa terobosan, dari berbagai aspek. Misal lewat pembangunan kesadaran publik, agar tanpa penegakan hukum pun masyarakat tidak akan lagi berburu satwa liar.
Dari aspek ekonomi, perlu adanya peningkatan penghasilan masyarakat. Jika masyarakat sudah berpenghasilan cukup, mereka tidak akan melirik perburuan satwa liar sebagai sumber penghidupan.
Selain itu, dari sisi budaya, Sunarto menekankan perlunya pembangunan pemahaman bahwa melepas satwa liar di alam liar lebih baik ketimbang mengurung atau bahkan menjualnya.
Negara-negara seperti Kamboja, Vietnam dan Laos sudah sejak 15 tahun lalu menghadapi fenomena hutan kosong. Satwa-satwa di sana sudah tak lagi tampak akibat perburuan yang dilakukan manusia secara massif.
Sunarto berharap Indonesia bisa belajar dari negara-negara tersebut, sebelum krisis stwa liar yang dialami lebih parah.
Selain itu, Indonesia juga perlu berkaca dari Nepal, yang memiliki populasi harimau meningkat dua kali lipat.
“Secara ekonomi Indonesia lebih baik dari Nepal, seharusnya tata kelola satwanya juga,” ujar Sunarto.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.