Kebijakan proyek pembangunan Presiden Jokowi belum pro-lingkungan
LSM menyebut terdapat Peraturan Pemerintah tentang tata ruang yang tidak memerhatikan isu lingkungan
Jakarta Raya
Shenny Fierdha
JAKARTA
LSM peduli lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai bahwa kebijakan terkait proyek pembangunan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla harus lebih memperhatikan isu lingkungan.
Salah satu kebijakan yang dipandang ICEL tidak memerhatikan isu lingkungan ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Menurut ICEL, PP tersebut secara umum bersifat toleran terhadap pembangunan proyek mega infrastruktur, terutama Proyek Strategis Nasional, di mana pemerintah boleh melanggar rencana tata ruang yang sudah ada lebih dulu tanpa berdasarkan pada perhitungan yang jelas.
ICEL juga mengkritik PP Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup terutama Pasal 26 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyiapkan dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup.
“Padahal seharusnya pelaku usaha yang menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup itulah yang menyediakan dana penanggulangan tersebut,” kata Deputi Pengembangan Program Raynaldo Sembiring di Jakarta, Jumat.
Sementara itu, ICEL juga menyorot target pemerintah yang ingin mengalokasikan 12,7 juta hektar perhutanan sosial pada 2019 nanti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014-2015.
“Namun sejauh ini baru terpenuhi 1,1 juta hektar. Padahal target tahun 2017 ini ialah 7,6 juta hektar,” kata Kepala Divisi Hutan dan Lahan ICEL Rika Fajrini.
Menurut Rika, rendahnya capaian luas perhutanan sosial tersebut dikarenakan adanya kendala dalam aspek kelembagaan, sumber daya manusia, dan perizinan.
Dari aspek kelembagaan, tidak semua provinsi di Indonesia sudah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan Perhutanan Sosial yang berperan untuk memfasilitasi percepatan perhutanan sosial.
Tidak tersedianya sumber daya manusia yang mahir di bidang pemetaan pun turut berdampak pada rendahnya capaian luas perhutanan sosial, padahal tenaga ahli sangat dibutuhkan.
Terakhir, terkait aspek perizinan, ICEL menilai bahwa Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tumpang tindih dengan perizinan yang dibuat oleh instansi lain.
Meski demikian, bukan berarti semua proyek pembangunan pemerintah adalah buruk.
“Proyek-proyek besar pemerintah itu tidak masalah karena bermanfaat juga untuk masyarakat. Tapi jangan mengorbankan lingkungan sebab masyarakat nantinya akan terdampak,” kata Direktur Eksekutif ICEL Henry Subagiyo.
Untuk mendukung jalannya pembangunan yang tidak merusak lingkungan itu, lanjut Henry, pemerintah harus menggunakan teknologi yang ramah lingkungan dan meningkatkan standar baku mutu lingkungan hidup yang mencakup air, tanah, dan udara.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.