
Jakarta Raya
Surya Fachrizal, Iqbal Musyaffa
JEPARA
Para petani umumnya menantikan musim panen. Namun ini tidak berlaku bagi para petani garam. Pada musim panen tahun ini, para petani garam justru merasa khawatir.
Sebab di musim panen ini harga garam justru anjlok, sehingga para petani garam tidak menikmati keuntungan dari hasil jerih payahnya. Bahkan dapat gigit jari alias merugi.
Di sebuah sentra garam di Desa Kedungmalang, Jepara, Jawa Tengah, harga garam anjlok menjadi Rp30 ribu per kuintal. Padahal pada 2017 mereka bisa menjual Rp300 ribu per kuintal.
Kalaupun petani menjual dengan harga Rp30 ribu per kuintal, mereka tidak langsung mendapatkan uangnya saat bertransaksi.
Paling cepat mereka mendapat bayaran dalam waktu sepekan. Jika kurang beruntung mereka harus menunggu hingga sebulan atau lebih.
“Saya sampai bingung. Bagaimana mereka membiayai hidup sehari-hari padahal belum ada penghasilan,” kata Kepala Desa Kedungmalang, F Razikin, kepada Anadolu Agency, pertengahan Juli kemarin.
Ada sekitar 100 petani garam di Kedungmalang. Dan hampir separuhnya berprofesi sebagai nelayan.
Para petani garam tidak bisa beralih mencari nafkah ke laut di saat anjloknya harga garam karena cuaca sedang tidak bersahabat.
Musim panen garam biasanya terjadi di musim kemarau, bulan Juli hingga September.
“Di musim panen garam biasanya ikan di laut juga sedikit. Angin juga sedang tidak bersahabat,” kata Makhalul Zafran, seorang nelayan setempat.
Para petani garam mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk sewa lahan, membeli terpal bio membran, dan membayar jasa buruh.
Dari sejumlah petani garam yang ditemui, rata-rata telah mengeluarkan Rp30 juta untuk satu musim panen ini.
Sedangkan setiap musim mereka bisa memproduksi hingga 30 ton garam.
Jika harga satu ton sekitar Rp300 ribu, maka mereka hanya mendapat Rp9 juta pada musim panen ini.
Bagi sebagian petani dan pengepul, mereka akan menahan hasil panen sambil menunggu harga membaik. Masalahnya, timbunan garam hasil panen musim lalu juga masih menumpuk di gudang-gudang mereka.
Seorang petani dan pengepul, Zaropi (49) masih menyimpan 250 ton garam hasil panen tahun lalu. Dia juga akan menimbun ratusan ton lagi tahun ini karena harga garam yang sangat rendah.
“Saya pernah menimbun selama 8 tahun. Jadi saya akan tahan garam saya tahun ini,” ujar Zaropi.
Tetapi sebagai konsekuensi, Zaropi harus berutang untuk membayar para buruh tani yang dia pekerjakan.
Jika petani besar seperti Zaropi terpaksa berutang, petani yang lebih kecil harus bekerja lebih keras lagi.
Abdul Muid (31) harus bekerja membantu istrinya, Inayah (32), menjahit baju di malam harı setelah bekerja seharian di ladang garam.
Muid yang masih menyimpan 35 ton garam hasil tahun lalu, mengaku akan menahan hasil panennya. Dia beruntung karena lahan yang dia garap adalah miliknya sendiri.
Tapi pasangan dengan dua anak ini harus bekerja ekstra dengan membuka jasa menjahit. “Itu pun tidak mencukupi. Saya juga berutang,” kata Muid mengakui.
Lain halnya dengan Musoddaq (50). Walaupun harga garam rendah dia tetap akan menjual hasil panen garam dia. Meskipun dia pesimistis akan mendapatkan kembali modal yang telah dia keluarkan.
“Saya tidak mau menambah utang. Sekarang saja saya sudah gadai STNK,” tunas Mushoddaq.
Tetapi yang terjadi pada petani bernama Rohmat (55) lebih nahas lagi: garam yang dia hasilkan jelek.
Garam milik Rohmat berwarna kuning kecoklatan. Tidak putih bersih seperti umumnya warna garam. Garam seperti itu hanya dihargai Rp15 ribu per kuintal.
Sebab itu, Rohmat tidak hanya menggarap lahan garam dia saja. Untuk mendapat pemasukan, Rohmat juga menjadi buruh bagi petani garam yang lain.
Pengaruh garam impor
Tahun ini pemerintah mengizinkan impor garam sebanyak 2,7 juta ton untuk keperluan indusri.
Menurut pemerintah kebijakan impor garam dikeluarkan karena petani hanya mampu memproduksi 1,12 juta ton, sedangkan kebutuan industri sebesar 3,7 juta ton.
Tetapi kebijakan impor ini diduga sebagai penyebab harga garam lokal turun drastis.
Jika pada tahun 2017 harga garam mencapai Rp300 ribu per kuintal, tahun ini turun hingga Rp30 ribu - Rp50 ribu per kuintal.
Ironisnya, 1,5 juta ton garam hasil panen tahun lalu masih belum terserap pasar. Dan sepertinya tumpukan garam di gudang-gudang para petani akan bertambah tahun ini.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, impor garam belakangan ini dilakukan dengan berlebihan.
“Persoalan harga jatuh adalah impor terlalu banyak dan bocor. Titik. Itu persoalannya,” ujar Susi di kantornya, Jakarta, Kamis beberapa waktu lalu (4/7/2019).
Terkait importasi garam, pemerintah sepertinya tidak satu suara, terlihat dari pernyataan Kementerian Perindustrian yang membantah pernyataan Menteri Susi yang menyebut bahwa rendahnya harga garam akibat pasokan berlebih yang berasal dari garam impor.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan impor garam dilakukan untuk memenuhi kebutuhan garam industri sebagai bahan produksi.
Sebanyak 2,7 juta ton dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri, namun realisasi impor garam baru sebanyak 1,2 juta ton.
Sigit mengatakan kebutuhan garam industri per tahun mencapai 3,7 juta ton, sementara pasokan garam lokal hanya mampu memenuhi kebutuhan industri sebesar 1,12 juta ton saja.
Pemerintah Indonesia selalu tidak satu suara dalam hal data. Setiap kementerian dan lembaga memiliki alasan dan data sendiri. Yang jelas para petani tetap yang paling merasakan kerugian dari situasi saat ini. Yang mereka inginkan adalah harga stabil sehingga mereka sedikit untung guna melanjutkan kehidupannya.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.