Labuan Bajo, 'surga dunia' baru di timur Indonesia
Kawasan wisata di Nusa Tenggara Timur itu sedang menata dirinya untuk menjadi destinasi wisata unggulan di Indonesia

Jakarta Raya
MANGGARAI BARAT, Nusa Tenggara Timur
Labuan Bajo – salah satu desa dari sembilan desa di Kecamatan Komodo, Nusa Tenggara Timur – mulai menjelma menjadi “surga dunia” pariwisata di timur Indonesia.
Perlahan-lahan perekonomian desa eksotik di Kabupaten Manggarai Barat itu menggeliat setelah dunia mengenal kawasan ini memiliki bentang alam yang indah dengan pemandangan laut yang bersih dan kekayaan flora dan fauna yang beragam, termasuk di dalamnya ada komodo – binatang purba dan langka khas Indonesia.
Wilayah Labuan Bajo meliputi Kampung Ujung, Kampung Tengah, Kampung Air, Lamtoro, Wae Kelambu, Wae Medu, Cowang Dereng, Wae Kesambi, Wae Bo, Lancang, Sernaru, Wae Mata, Pasar Baru, Pede, dan Gorontalo.
Suasana di Labuan Bajo, yang sudah menjadi 10 destinasi prioritas Indonesia, mulai ramai layaknya pusat pariwisata beberapa tempat lain di Nusantara, dengan jejeran restoran, losmen, hotel, kafe, minimarket dan agen perjalanan.
Jalan-jalan di sepanjang kawasan itu ramai lalu lalang kendaraan, yang mulai memicu kemacetan pada beberapa titik.
Turis lokal maupun mancanegara lalu lalang menikmati suasana kota, mencari barang kebutuhan mereka atau mengerumuni pusat-pusat informasi wisata.
“Setelah ada Sail Komodo (2013) dan masuk jadi salah satu New 7 Wonders of Nature, kawasan ini jadi ramai,” ujar Polce Molo, seorang sopir mobil sewaan di Labuan Bajo, awal Desember.
Pemandangan seperti ini tidak akan ditemui sebelum 2013, saat itu Labuan Bajo hanya dikenal sebagai pintu masuk ke Pulau Komodo, itu pun hanya wisatawan dengan minat khusus.
Sudah ada juga pusat perbelanjaan bernama Labuan Square yang terlihat ramai, meski tidak begitu besar.
Hotel-hotel berbintang memilih tempat agak jauh dari pusat kota seiring dengan maraknya pembangunan gedung tampak di sana-sini.
Di dekat pelabuhan sebuah hotel dan pusat pertokoan yang dikelola BUMN sedang dibangun.
Pada beberapa titik di sekitar Kampung Tengah, ada banyak besi-besi berukuran besar yang tampaknya akan digunakan sebagai rangka bangunan.
Alat-alat berat terus mengangguk-angguk menggerus tebing dan meratakan tanah calon lokasi bangunan.
Seperti gula yang mengundang semut, para perantau juga mulai berdatangan ke pulau ini mencari mata pencaharian lebih baik.
Mereka datang dari kabupaten lain bahkan Jawa atau Sumatera menjadi pedagang, pemandu turis, sopir nakhoda atau anak buah kapal, serta karyawan hotel.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat, Augustinus Rinus mengatakan kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Pada 2010 wisatawan hanya ada 41 ribu orang wisatawan, kemudian tahun lalu naik menjadi 163 ribu orang.
Lama tinggal wisatawan juga naik, pada 2016 mereka hanya tinggal rata-rata 5,6 hari, namun pada 2018 naik menjadi 6,5 hari.
Tahun ini kemungkinan besar kunjungan wisatawan menurun, karena baru mencapai 158 ribu hingga November. Penurunannya dipengaruhi faktor-faktor unik, seperti kenaikan harga tiket pesawat terbang hingga isu penutupan Taman Nasional Komodo.
Fasilitas masih minim
Sebagai kawasan yang baru saja berkembang, Labuan Bajo banyak kekurangan di sana-sini.
Rinus mengatakan aksesibilitas baik udara, darat maupun laut masih menjadi kendala.
Bandara Komodo saat ini masih diperlukan pembenahan, salah satunya kata dia adalah landasan pacu (runway) bandara yang masih belum memenuhi standar internasional.
Begitu pula dengan aksesibilitas laut juga belum memadai, seperti kebutuhan marina agar bisa menampung kapal-kapal pesiar berukuran besar yang hingga kini belum dibangun.
Jalan darat juga masih sempit dan belum menjangkau semua wilayah, sementara air bersih juga masih menjadi masalah.
“Tahun depan pemerintah pusat menganggarkan Rp1,7 triliun membangun aksesibilitas, terutama udara untuk mendukung Labuan Bajo menjadi destinasi wisata premium," ujar dia.
Polce Molo mengatakan dia kesulitan saat mengisi bahan bakar, karena jumlah SPBU yang masih sangat terbatas. Jika ingin mengisi penuh, dia harus mengantre sejak malam hari, padahal pengisian bahan bakar baru dimulai pagi harinya.
“Antrenya panjang. Sering tidak kebagian bahan bakar,” kata Molo.
Soal sumber daya manusia (SDM) lokal juga masih belum siap bekerja di sektor pariwisata, ujar Rinus. Hanya 7 persen dari 256 ribu jiwa penduduk yang bekerja di industri ini, sisanya masih bertahan di sektor pertanian.
Destinasi pariwisata super prioritas
Pada dasarnya, kata Rinus, pesona Manggarai Barat seperti gumpalan surga yang jatuh ke bumi.
Mulai dari Pulau Padar, Danau Sano Lumbung, Pulau Rinca, Pulau Kelor, Danau Vulkanik Sananggoang, dan tentu saja Pulau Komodo.
Anadolu Agency berkesempatan mengunjungi beberapa kawasan wisata di Nusa Tenggara Timur (NTT) ini dalam satu paket wisata.
Destinasi yang dikunjungi adalah Pulau Padar, Pulau Komodo, Pink Beach dan Pulau Kanawa.
Di Pulau Padar, pulau berupa bukit dengan ketinggian sekitar 150 meter di atas permukaan laut ini, wisatawan sudah disuguhi pemandangan laut memesona, bahkan saat baru mendekat ke dermaga.
Untuk menikmati keindahan bentang alam di kawasan ini, wisatawan harus menaiki lebih dari 300 anak tangga.
Setelah melewati kira-kira 20 anak tangga, wisatawan sudah disuguhi pemandangan memesona.
Pertama yang harus dinikmati adalah bukit savana dengan kontur yang unik.
Kemudian di bawah bukit terlihat laut hijau, yang menunjukkan bagian perairan dangkal dan biru untuk bagian perairan dalam, kapal-kapal dan dikelilingi gugusan pulau-pulau kecil.
Semakin menuju puncak, sudut pandang bertambah luas.
Nafas yang terengah-tengah karena mendaki ratusan anak tangga, dibayar lunas dengan keindahan alam yang terhampar sejauh mata memandang, laut biru dan gugusan pulau-pulau terhampar indah.
Sementara Pulau Komodo menawarkan sensasi wisata lain, yaitu pemandangan binatang langka khas Indonesia.
Di pulau seluas 390 kilometer persegi ini hidup 1.337 ekor komodo, kadal raksasa sisa zaman purba.
Ada binatang berbahaya lain di pulau ini, yaitu ular derik dan ular hijau yang sangat berbisa.
Berwisata ke Pulau Komodo menawarkan sensasi menikmati keindahan alam sekaligus harus berhati-hati karena berkunjung ke habitat binatang buas dan ular berbisa.
Ada tiga pilihan jalur berkeliling pulau ini. Jalur pendek sekitar 2 kilometer bisa diselesaikan dalam waktu 1 jam, kemudian jalur menengah sepanjang 4 kilometer dan jalur panjang sejauh 8 kilometer.
Para naturalist guide atau ranger pemandu di pulau itu tak pernah menjamin para wisatawan bisa melihat komodo secara langsung saat berkeliling di jalur-jalur tersebut karena perilaku komodo yang liar suka menyendiri.
Habitat lain komodo adalah Pulau Rinca yang kurang lebih menawarkan sensasi sama. Tapi dengan luas yang lebih sempit, peluang untuk melihat komodo secara langsung lebih besar.
Berikutnya adalah pink beach, wisatawan akan disuguhi pemandangan pantai yang berwarna pink – warna yang berasal dari hewan mikroskopis bernama foraminifera.
Pantai ini juga menyajikan pemandangan bawah laut yang menakjubkan.
Lokasi snorkeling selanjutnya adalah Pulau Kanawa yang disebut sebagai salah satu pemandangan bawah laut terindah di dunia.
Pulau seluas 35 hektar ini mempunyai air laut yang sangat jernih, seperti air akuarium dengan ribuan ikan berwarna-warni dan gugusan terumbu karang.
Saking jernihnya ikan yang berseliweran di dalam air bisa terlihat dari permukaan, meski kita harus berhati-hati karena ada banyak bulu babi yang bisa berbahaya bila terinjak.
“Dengan potensi ini, kami optimistis akan menjadi destinasi pariwisata kelas dunia,” ujar dia.
Potensi pendapatan besar
Rinus memperkirakan valuasi sektor pariwisata di Labuan Bajo mencapai Rp2,3 triliun, namun pendapatan pariwisata baru mencapai Rp 34,7 miliar tahun lalu.
Menurut dia banyak potensi pendapatan yang hilang atau belum tergali, misalnya soal kapal. Beberapa waktu lalu, pemkab baru saja memindahkan basis operasi sekitar 300-an unit kapal ke Labuan Bajo, dari sebelumnya di Bali atau Jakarta.
Sebelumnya hanya ada 56 kapal yang berbasis di Labuan Bajo. Pemindahan basis operasi kapal ini akan meningkatkan pendapatan pajak cukup signifikan.
Biro wisata juga akan ditertibkan, karena sebelumnya banyak yang berkantor di luar Labuan Bajo, bahkan di luar negeri.
Selain itu, dia berharap, pemerintah daerah mendapatkan bagi hasil yang setara dengan pemerintah pusat dari tiket masuk kunjungan ke TNK.
Apalagi, TNK direncanakan menjadi destinasi wisata premium dengan tiket mencapai USD1.000.
Asisten Direktur Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Rut W Eka Trisilowati mengatakan ada beberapa strategi untuk meningkatkan pariwisata di wilayah timur Indonesia yaitu memperbaiki atraksi, fasilitas publik, amenitas, akses, dan promosi.
Dalam rancangan BI, Labuan Bajo yang nantinya akan menjadi wisata premium akan menonjolkan kegiatan diving, destinasi kampung adat, dan penataan Kampung Tenun.
Amenitas disediakan dengan membangun lebih banyak cottage, homestay, restoran sangan target tambahan kamar hingga 2023 mencapai 1.090 kamar.
Selain itu, pemenuhan kebutuhan produksi untuk restoran dan pemenuhan kebutuhan industri non makanan dan industri kreatif.
“Sistem pembayaran non tunai juga perlu digencarkan,” ujar dia.
Pariwisata jangan memicu kesenjangan sosial
Chusmeru, pengamat pariwisata dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto mengatakan pemerintah perlu jangan hanya mengeksploitasi Labuan Bajo dari sisi ekonomi semata dengan menetapkannya sebagai destinasi wisata premium.
Namun, wisata premium sering diartikan sebagai wisata mahal dan hanya untuk mereka yang berkantong tebal karena tiket atau fasilitas lain yang mahal.
“Pengertian tersebut cenderung kapitalistik, karena pariwisata hanya dilihat dari perspektif ekonomis saja,” ujar dia.
Konsep ini, kata Chusmeru bisa menimbulkan kecemburuan sosial karena memanjakan dan memperlakukan wisatawan bak raja, namun di sisi lain membiarkan masyarakat di destinasi tersebut hanya sebagai penonton yang terpinggirkan.
“Persoalannya adalah, apakah masyarakat sekitar destinasi diuntungkan secara sosial, budaya, dan ekonomi dengan ditetapkannya destinasi wisata premium tersebut,” ujar dia.
Labuan Bajo bisa saja dikembangkan sebagai destinasi wisata premium. Namun konsepnya harus jelas, bukan hanya karena kepentingan mendongkrak perolehan devisa dari sektor pariwisata saja.
Ini karena penetapan destinasi wisata premium bagi Labuan Bajo akan banyak membawa implikasi sosial, budaya, dan ekonomi bagi masyarakatnya.
“Kalau pun Labuan Bajo hendak ditetapkan sebagai destinasi wisata premium, maka konsep yang paling sesuai adalah konservasi dan pariwisata berkelanjutan.”
“Artinya, Labuan Bajo dikembangkan sebagai destinasi wisata dengan mempertimbangkan pelestarian dan keberlanjutan dari aspek lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi bagi masyarakatnya.
“Bukan destinasi wisata yang hanya dijual mahal kepada wisatawan, tapi wisatawan dapat berbuat apa saja di destinasi tersebut.”
Misalnya, kata Chusmeru, kelestarian alam dan kelestarian habitat Komodo, menjadi lebih penting ketimbang harga tiket yang mahal. Sebab, semakin lestari Labuan Bajo, akan semakin banyak dikunjungi wisatawan.
Menurut dia, banyak hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam menjadikan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata premium.
Salah satu hal penting adalah, mempersiapkan masyarakat sekitar agar dapat ikut merasakan kue pariwisata yang ada.
Pemerintah perlu mengembangkan sektor industri kreatif masyarakat Labuan Bajo, baik potensi kerajinan maupun seni budaya untuk mendukung kegiatan pariwisatanya.
Dengan demikian, masyarakat tidak merasa terpinggirkan di tengah pariwisata mahal di daerahnya sendiri.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.