Jakarta Raya
Nicky Aulia Widadio
JAKARTA
Kekhawatiran akan bangkitnya peran militer pada ranah sipil – seperti populer pada zaman Orde Baru dengan istilah Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) – muncul setelah ada rencana revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Melalui revisi UU tersebut, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto berencana menempatkan perwira tinggi aktif TNI pada jabatan sipil di sejumlah kementerian/lembaga.
Pasalnya, kata Hadi, ada sekitar 500 perwira menengah dan 150 perwira tinggi TNI yang menganggur.
Wacana ini menimbulkan reaksi penolakan dari sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM) hingga akademisi.
Berdasarkan pasal 47 UU 34/2004, prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Jabatan yang bisa diduduki oleh prajurit aktif TNI pun dibatasi, antara lain di kementerian koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menentang wacana revisi itu, sebab revisi UU TNI akan membuka peluang kembalinya dwifungsi ABRI.
“Ada peluang TNI aktif masuk ke ranah sipil, lama-lama ditambah, semua bisa masuk. Itu namanya dwifungsi TNI dihidupkan kembali,” kata Syamsuddin dalam diskusi di Jakarta, Jumat.
Lebih jauh, Syamsuddin menilai wacana ini berpotensi mengganggu supremasi sipil dalam iklim demokrasi Indonesia.
Dia meminta agar Presiden Joko Widodo, sebagai pemegang otoritas sipil, bersikap tegas dan menolak wacana tersebut.
“Ini bukan hanya tidak sesuai dengan keniscayaan supremasi sipil, tapi juga mengkhianati agenda reformasi kita,” tutur Syamsuddin.
Gubernur Lemhanas Letjen TNI Purnawirawan Agus Widjojo mengatakan persoalan perwira TNI yang menganggur semestinya diselesaikan secara teknis di internal TNI agar tidak meluas menjadi masalah nasional.
Agus juga mengingatkan penempatan TNI sesuai UU 34/2004 memiliki batasan dan harus betul-betul berkaitan dengan bidang pertahanan.
Reformasi TNI tidak berjalan
Setelah 20 tahun reformasi bergulir dan dwifungsi ABRI dihapus pada 1998, Syamsuddin menilai tidak ada konsensus di antara elite politik sipil terkait kedudukan militer.
Pemerintah sebagai otoritas sipil telah gagal mendorong agenda strategis pertahanan negara melalui visi yang jelas terkait kedudukan TNI.
Kegagalan agenda strategis ini tampak dari pola hubungan sipil-militer yang terus berubah setiap masa kepemimpinan presiden setelah reformasi.
Turbulensi hubungan sipil-militer terjadi pada era BJ Habibie, kemudian konfrontasi antara sipil-militer terjadi di era Presiden Abdurrahman Wahid.
Pola negosiasi mencerminkan hubungan sipil-militer di era Presiden Megawati Soekarno Putri dan saat itu hampir tidak ada masalah terkait ini.
Sedangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo dinilai cenderung kompromistis terhadap militer.
“Tidak mengejutkan jika setiap waktu terbuka peluang intervensi kembali militer dalam kehidupan politik sipil” jelas Syamsuddin.
Wacana penempatan perwira aktif TNI di ranah sipil merupakan efek dari nihilnya peta jalan (roadmap) reformasi TNI.
Alih-alih menempatkan perwira aktif di ranah sipil, Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menyarankan agar reorganisasi militer menuju pada penguatan sistem pertahanan menghadapi generasi perang berbasis teknologi pertahanan.
“Reorganisasi TNI bukan ke arah penempatan sipil, tapi membangun cyber defense yang kuat,” kata Al Araf.
Saat ini, perbantuan prajurit TNI dan operasi militer sering kali tidak kontekstual dengan isu pertahanan.
Al Araf menuturkan ada lebih dari 30 nota kesepahaman antara TNI dan kementerian/lembaga dalam kerangka perbantuan TNI atau operasi militer selain perang.
Salah satunya ialah pelibatan prajurit untuk mencetak sawah dalam kerangka kerja sama TNI dan Kementerian Pertanian.
Pelibatan TNI dalam hal ini, kata dia, mestinya terjadi dalam situasi darurat seperti krisis pangan, namun faktanya Indonesia saat ini sedang tidak berada dalam situasi krisis.
“Itu berlebihan, operasi militer selain perang harus ada batasan,” ujar dia.
Reformasi TNI dari impunitas hukum
Dari perspektif HAM, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam meminta agar reformasi TNI menghilangkan impunitas dari kasus-kasus hukum.
“Banyak konflik agraria yang ditangani Komnas HAM bersinggungan dengan TNI, akhirnya sulit diselesaikan dengan cepat,” ujar Anam.
Impunitas itu, sambung dia, tampak dalam deklarasi damai peristiwa Talangsari di Lampung Timur pada 20 Februari 2019 lalu.
Kasus Talangsari terjadi pada 1989 lalu, ketika kelompok pengajian di Talangsari ingin mendirikan negara Islam di Indonesia.
Setelah upaya dialog gagal dilakukan, militer menyerang warga sipil sehingga 45 orang tewas, lima orang diperkosa, 88 orang hilang, 36 orang disiksa, dan 173 orang lainnya ditahan.
Komnas HAM mengategorikan peristiwa Talangsari sebagai pelanggaran HAM berat dan menilai deklarasi damai baru-baru ini bersifat sepihak karena tidak melibatkan keluarga korban.
Deklarasi damai ini terjadi satu hari setelah Komnas HAM mengembalikan berkas kasus Talangsari kepada Jaksa Agung.
Anam menyoroti lembaran deklarasi damai tersebut yang juga ditandatangani oleh Komandan Distrik Militer Lampung Timur.
“Apa fungsi pertahanan TNI di sini kecuali menunjukkan impunitas? Ini kan kasus pelanggaran HAM berat,” ujar Anam.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
