
Jakarta Raya
Hayati Nupus
JAKARTA
Asap rokok menyelingi gelak tawa belasan pelajar di warung seberang Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 47 Jakarta Selatan. Abunya bertebaran di mana-mana, di sela kaki, di atas sepatu, masuk ke got, juga di atas tas-tas yang teronggok begitu saja.
Di antara mereka ada Robby, 16 tahun, bukan nama sebenarnya. Setiap hari selepas sekolah, siswa kelas X SMA Negeri 8 Jakarta Selatan ini rajin kongkow bersama geng semasa SMP, yang bersekolah di SMA berbeda. Rokok menjadi menu wajib menemani kongkow mereka setiap hari.
Robby mengaku menjajal rokok sejak masih Taman Kanak-kanak. Mulanya hanya melihat orang dewasa menghirup asap rokok. Penasaran, Robby yang saat itu baru berusia lima tahun membeli sebatang rokok di warung sebelah. Saat pemilik warung bertanya, Robby menjawab rokok itu untuk ayahnya.
Meski sempat ketahuan dan dikurung ibunya di kamar mandi, Robby tak kapok. Ia justru kecanduan rokok hingga kini.
“Sekarang jadi nggak bisa hidup tanpa rokok,” aku Robby, kepada Anadolu Agency, Februari lalu.
Dalam sehari, setidaknya sebungkus rokok berisi 16 batang ludes ia hisap. Kebetulan, Robby dapat uang saku Rp25.000 per hari, yang memungkinkan dia mampu membeli sebungkus rokok seharga Rp16.000.
“Murah kok, kalau dihitung cuma Rp1.000 per batang, kayak di iklan,” kata Robby.
Robby sering melihat iklan harga rokok murah itu di berbagai tempat, di gang-gang atau di warung tetangga.
Paparan iklan yang mendera Robby, sebenarnya tidak boleh terpasang bebas di Ibukota. Sebab, tiga tahun lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah membatasi iklan rokok lewat Peraturan Gubernur no 1 tahun 2015, tentang larangan penyelenggaraan reklame rokok dan produk tembakau pada media luar ruang.
Namun tetap saja, murahnya harga rokok menjangkau anak seperti Robby.
Selain di Jakarta, Iklan rokok murah juga mengepung siswa sekolah di wilayah Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Di sana, spanduk rokok Class Mild terpampang persis di warung di sebelah gerbang Matahari Islamic Integrated School.
“Rp1rb per batang.”
Saban hari, ketika keluar masuk gerbang sekolah, mau tidak mau mata siswa PAUD, TK dan SD berserobok dengan iklan rokok murah itu.
Berbagai merek iklan rokok lain yang mencantumkan harga juga memenuhi warung di depan SMP Negeri 12 Tangerang. Salah satunya Lucky Strike, brand milik Britis American Tobacco, dengan huruf kapital dan merah menyala pada bagian harga.
GREAT TASTE
Rp 17.000
20 BATANG
Tebaran iklan rokok mengepung sekolah juga jadi temuan Yayasan Lentera Anak (YLA) pada 2015 lalu. Dari riset di lima kota, yakni Jakarta, Bandung, Padang, Mataram dan Makassar, sebanyak 85 persen sekolah dikepung iklan rokok. Iklan rokok bertebaran dalam beragam bentuk. Mulai dari spanduk, poster, stiker, hingga videotron.
Baru pada penelitian tahun lalu, YLA mendapati 80,2 persen bentuk promosi rokok mencantumkan harga. Riset ini dilakukan dengan mengamati 1.379 media iklan rokok di 10 kota Indonesia, seperti di Banjarmasin, Semarang, Batu, Tangerang Selatan, Pekanbaru, Bekasi, Bandar Lampung, Pasaman Barat, Mataram dan Kupang.
Pencantuman harga murah, ujar Ketua YLA Lisda Sundari, adalah cara perusahaan merangsang anak untuk membeli rokok. Apalagi, berdasarkan riset YLA, umumnya anak SD memperoleh uang saku Rp10.000 per hari, SMP Rp13.000 dan SMA Rp25.000. “Dengan pencantuman harga, bahkan anak SD pun bisa membelinya dengan mudah,” kata Lisda.
Ketimbang dulu, kata Lisda, industri rokok kini lebih berani. Sebelumnya iklan rokok menggunakan tagline halus seperti “Nggak ada loe nggak rame”, “Tanya kenapa”, “Asyikin aja”.
“Sekarang lebih hard, bahkan menyebutkan Rp1.000 per batang, lebih murah ketimbang anak membeli makanan,” kata Lisda.
Industri rokok targetkan anak
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi, promosi kasar industri dalam menjual rokok murah dipicu berkurangnya konsumen rokok di kalangan parobaya. Mereka kemudian menggunakan segala cara demi meraup konsumen baru sekaligus menjadikan anak sebagai target konsumen berikutnya.
“Mereka menargetkan anak dan remaja sebagai investasi untuk menggantikan perokok tua yang sudah berkurang, lewat iklan rokok murah itu,” kata Tulus.
Di Indonesia, ujar Tulus, kiprah industri rokok amat mengkhawatirkan karena regulasinya masih lemah. Mereka tak hanya bebas beriklan di manapun dengan cara apapun, tapi sekaligus bisa menjual di mana saja.
“Belinya gampang, dijual bebas di mana-mana seperti permen,” ujar Tulus.
Menurut Tulus, idealnya produk bercukai seperti rokok tak dijual sembarangan. Melainkan harus dijual terbatas, seperti penjualan minuman keras.
Selain itu, ujar Tulus, pemerintah daerah perlu meniru Payakumbuh dan Jakarta yang memiliki kebijakan pembatasan iklan rokok di media luar ruang.
“Kalau penjualan terbatas dan pembatasan iklan konsisten dijalankan, otomatis akan menekan konsumsi,” kata Tulus.
Selain iklan rokok murah, jelas Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, industri rokok juga membidik konsumen baru lewat pendanaan konser dan olahraga. Kedua kegiatan yang dibidik itu biasa didominasi anak muda, bahkan remaja. Mereka memajang perangkat iklan demikian banyak: spanduk, baliho, umbul-umbul, bahkan sederet Sales Promotion Girl menyusup di sela-sela pengunjung untuk membagikan rokok.
Di Indonesia, sebenarnya pemerintah sudah melarang penjualan rokok kepada anak. Pasal 25B dalam Peraturan pemerintah nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau Bagi Kesehatan menyebutkan larangan menjual rokok kepada anak-anak.
“Kalau ada pelarangan itu, harusnya perusahaan rokok tidak memasang iklan, promosi dan sponsor rokok dalam bentuk apapun. Itu sangat mempengaruhi keputusan anak merokok untuk pertama kalinya,” ujar Lisda.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti mengklaim industri tidak menyasar anak sebagai target pemasaran. Menurut dia, anak-anak tertarik merokok karena dipicu pencatuman harga rokok murah, sepenuhnya murni keputusan anak-anak itu sendiri. “Ya itu keputusan mereka, mereka tahu risikonya, ada [keterangan risiko] kok di bungkusnya,” ujar Muhaimin.
Muhaimin juga menganggap pencantuman harga murah pada bungkus rokok tak melanggar aturan pemerintah. Sekedar strategi pemasaran untuk menjangkau konsumen belaka.
Sementara, Head of Fiscal Affairs and Communication Sampoerna Elvira Lianita mengklaim perusahaannya menentang kegiatan merokok di kalangan anak. Sampoerna, ujar Elvira, bekerja sama dengan 40.000 peritel demi mencegah akses pembelian rokok oleh anak. Bentuknya penyuluhan kepada para peritel sekaligus penempatan materi komunikasi sesuai isi PP 109/2012 yang melarang pembelian, penjualan dan konsumsi rokok oleh anak.
Tapi Lisda Sundari menyanggah hal itu. Menurutnya, jika industri mematuhi PP 109/2012, Sampoerna tidak menjual rokok pada anak. Sebab, alih-alih mencegah anak merokok, kampanye itu justru menguntungkan perusahaan yang tampak patuh namun tetap meracuni anak dengan rokok lewat harga dan iklan rokok murah.
“Kalau mereka mau konsisten, jangan beriklan,” tegas Lisda.
Lisda juga mengkritik kebijakan PP 109/2012 yang hanya memuat pelarangan tanpa petunjuk teknis pengawasan. Jika pemerintah pusat dan daerah mau serius mencegah anak merokok, Peraturan Pemerintah mestinya ditindaklanjuti Pemerintah Daerah lewat Perda.
“Hingga saat ini belum ada sistem komprehensif yang betul-betul mencegah anak merokok merokok,” Lisda prihatin.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.